Mengenal Tokoh-Tokoh Sastra Sunda
Sejauh yang dapat dilacak, buku atau penelitian tentang tokoh sastra Sunda
yang telah diusahakan masih bisa dihitung jari. Sekadar contoh,
penelitian Tini Kartini dkk. yang berjudul Biografi
dan Karya Sastrawan Sunda Masa 1945-1965 (1978), Yuhana dengan
Sastrawan Sunda (1979), Daéng Kanduruan Ardiwinata, Sastrawan Sunda
(1979), dan Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa (1985). Juga
Ajip Rosidi dengan Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana (1989). Adapun
yang paling mutakhir adalah Ensiklopedi Sunda (2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (2003) yang keduanya karya Ajip Rosidi dkk.
Dari dokumen yang sedikit itulah, untuk sementara dapat dibentangkan
kiprah beberapa tokoh sastra Sunda. Menurut pengamatan saya, sedikitnya
ada 16 tokoh yang berpengaruh dalam sastra Sunda yang mewakili zaman dan
genre karya yang dihasilkannya. Adapun pemilihan
dan penempatan urutan tokoh diniati hanya mengenalkan saja, tidak untuk
menilai, apalagi mengesampingkan tokoh lain. Pertimbangannya pun
didasarkan pada popularitas dan dominasi hasil karya yang besar
pengaruhnya dalam jagat sastra Sunda.
Tokoh pertama dan kedua adalah P. H. H. Mustapa (1852-1930) dan Muh.
Musa (1822-1886). Keduanya tokoh sastra Sunda terbesar pada zaman
kolonial yang banyak menulis dangding dan wawacan. Sekitar tahun
1900-an, misalnya, P.H.H. Mustapa sempat menulis lebih dari 10.000 bait
dangding yang kualitas literernya dianggap bermutu tinggi. Selain itu ia
pun banyak menulis anekdot dan prosa. Namun kebesarannya baru
disebut-sebut pada tahun 1950-an oleh Ajip Rosidi, yang selanjutnya
memicu para peneliti untuk mendalaminya. Tahun 1965 P. H. H. Mustapa mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan pada tahun 1977 Presiden RI memberikan Anugerah Seni kepadanya sebagai sastrawan daerah Sunda.
Sedangkan Muh. Musa (1822-1886) adalah pelopor sastrawan Sunda pada
paruh kedua abad 19. Karya-karyanya dalam bentuk wawacan (11 judul) dan
prosa (33 judul), baik asli maupun terjemahan, banyak diterbitkan
pemerintah kolonial pada waktu itu. Wawacan "Panji Wulung", merupakan
salah satu karyanya yang cukup populer di masyarakat Sunda. Berkat jasa
dan hubungannya yang baik dengan pemerintah kolonial, Muh. Musa sempat
memperoleh medali emas. Muh. Musa pun banyak mengusahakan buku bacaan
berbahasa Sunda. Menurut catatan Moriyama (2005), Muh. Musa sedikitnya
menerbitkan 14 judul buku yang dicetak pada zaman pemerintah kolonial.
Tokoh ketiga dan keempat adalah D.K. Ardiwinata (1866-1947) dan Yuhana.
Keduanya tokoh sastra Sunda pada zaman Balai Pustaka yang banyak menulis
novel. Baruang ka nu Ngarora (1914) adalah novel pertama berbahasa
Sunda yang ditulis oleh D.K. Ardiwinata. Selain itu ia pun menulis
dongeng dan banyak menyadur karya-karya pengarang dunia.
Pemikirannya yang terpenting adalah bahwa orang Sunda harus banyak
menulis prosa ketimbang puisi (dangding) yang sering kali merusak bahasa
karena hendak memenuhi aturan pupuh. Adapun Yuhana (nama aslinya Achmad
Bassach) adalah pengarang novel Sunda yang karya-karyanya setia
diterbitkan oleh penerbit swasta. Tidak tercatat satu pun novelnya yang
diterbitkan Balai Pustaka. Novel populernya yang pertama adalah Carios
Eulis Acih (1923). Novel tersebut menuai sukses besar pada waktu itu dan
sempat dibuat film. Setelah itu keluar novelnya yang lain, seperti Neng
Yaya (1923), Agan Permas (1926), dan yang paling terkenal Rasiah nu Goréng Patut (1928) atau lebih dikenal dengan Karnadi Anémer Bangkong karena tokoh utamanya bernama Karnadi.
Novel ini dikarang bersama dengan Sukria serta pernah dibuat film. Hal yang membuat
Yuhana dapat digolongkan sebagai pembaru sastra Sunda karena
karya-karyanya dapat hidup di luar bayang-bayang Balai Pustaka. Meski
berbeda gaya dalam berkarya, keduanya berpengaruh dalam sastra Sunda,
terutama dalam penulisan novel.
Tokoh kelima dan keenam adalah GS dan Tini Kartini (lahir
1933-sekarang). Menurut M.A. Salmun, GS bernama lengkap G.
Sastradiredja. Namun menurut R. Éro Bratakusumah, GS bernama lengkap G.
Soewandakoesoemah. GS adalah pelopor penulisan cerpen berbahasa Sunda. Dogdog Pangréwong (1930) adalah kumpulan cerpennya yang pertama dalam bahasa Sunda dan merupakan kumpulan cerpen yang pertama terbit di Indonesia. Isinya delapan cerpen bernada humor yang dialog antartokohnya terasa hidup.
Selain menulis cerpen, GS pun menulis karangan lepas dalam majalah
Parahiangan. Adapun Tini Kartini dapat disebutkan sebagai pengarang
wanita cukup kuat dalam cerpen Sunda. Kumpulan cerpennya yang pertama
terbit ialah Jurig!, Paméran, dan Nyi Karsih. Selain itu Tini Kartini
banyak melakukan penelitian tentang sastra dan sastrawan Sunda. Meskipun
keduanya berbeda zaman, namun dalam hal kepengarangannya, baik GS
maupun Tini Kartini termasuk tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda,
terutama dalam penulisan cerpen.
Tokoh ketujuh dan kedelapan adalah Kis Ws (1922-1995) dan Sayudi
(1932-2000). Keduanya pelopor dan pembaru dalam penulisan sajak Sunda.
Kis Ws adalah orang Sunda pertama yang menulis sajak Sunda sekitar tahun
1950-an. Sempat terjadi polemik ketika sajaknya untuk pertama kali
dimuat dalam Sk. Sipatahunan, karena pada waktu itu orang Sunda lebih
mengenal dangding. Selain menulis sajak, Kis Ws pun banyak menulis cerpen
dan esai. Adapun Sayudi banyak disebut sebagai penulis sajak epik
pertama dalam sastra Sunda. Lalaki di Tegal Pati (1962) merupakan buku
kumpulan sajak karya Sayudi dan pertama dalam sastra Sunda. Setelah itu
Sayudi mengeluarkan kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madraji
(1983). Banyak ahli menyebutkan bahwa Madraji merupakan carita pantun
modern, karena bentuknya seperti paduan antara sajak dan carita pantun.
Kis Ws dan Sayudi merupakan tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda,
terutama dalam penulisan sajak.
Tokoh kesembilan dan kesepuluh adalah RAF (1929-2008) dan R.H. Hidayat
Suryalaga (1941-sekarang). Keduanya sastrawan yang banyak menulis naskah
drama, atau setidaknya mempunyai perhatian yang luas terhadap dunia
teater. RAF (Haji Rahmatullah Ading Affandie) disebut-sebut sebagai
pelopor dalam drama Sunda modern. Lewat jasa-jasanya kita pernah melihat
gending karesmen dan drama berbahasa Sunda muncul pertama kalinya di
layar kaca TVRI. "Inohong di Bojongrangkong" adalah judul sinetron (?)
garapannya yang cukup melegenda dan sangat dipikalandep oleh penonton
TVRI pada masanya. Ditayangkan sebulan sekali sampai 110 episode.
R.H. Hidayat Suryalaga banyak menulis naskah gending karesmen, longser,
dan drama berbahasa Sunda. Penelitian Agus Suherman (1998) mencatat
lebih dari 25 naskah gending karesmen, longser, dan drama yang sudah
ditulis R.H. Hidayat Suryalaga. Di antara naskah drama yang paling kuat
adalah "Sanghyang Tapak", "Cempor", dan "Setatsion Para Arwah". R.H .
Hidayat Suryalaga termasuk tokoh yang memelopori berdirinya Teater Sunda
Kiwari (1975) dan berhasil menerjemahkan Alquran ke dalam bentuk pupuh. Keduanya bolehlah disebut tokoh berpengaruh dalam penulisan naskah drama dan gending karesmen.
Tokoh kesebelas dan keduabelas adalah Ajip Rosidi (1938-sekarang) dan
Duduh Durahman (1939-sekarang). Keduanya kritikus kuat dalam sastra
Sunda. Ajip Rosidi dipandang sebagai tokoh kritis, frontal, dan
pemberani dalam berpolemik. Banyak esai kritik yang telah ditulisnya, di
antaranya dikumpulkan dalam buku Dur Panjak! (1967), Dengkleung Déngdék
(1985), Hurip Waras! (1988), dan Trang-trang Koléntrang (1999). Selain
itu Ajip Rosidi pun banyak berkiprah dalam dunia penerbitan. Namun
pekerjaan raksasanya dalam dunia sastra Sunda antara lain penelitian
tentang folklor dan pantun Sunda, penyusunan Ensiklopedi Sunda,
pemrakarsa Konferensi Internasional Budaya Sunda I, dan sejak tahun 1989
secara rutin memberikan Hadiah Rancagé untuk sastrawan berbahasa Sunda.
Adapun Duduh Durahman, banyak menulis kritik terhadap sastra Sunda.
Karya kritiknya telah dikumpulkan dalam Catetan Prosa Sunda (1984) dan
Sastra Sunda Sausap Saulas (1991). Selain itu Duduh Durahman pun banyak
menulis cerpen dan setia mengasuh rubrik sastra di majalah Manglé. Duduh
Durahman pun dikenal sebagai aktor dan kritikus film. Maka meskipun
tidak sejajar dalam produktivitas berkarya dan aktivitas kegiatan,
keduanya tokoh berpengaruh terutama dalam penulisan kritik sastra.
Tokoh ketigabelas dan keempatbelas adalah Wahyu Wibisana (1935-sekarang)
dan Yus Rusyana (1938-sekarang). Keduanya praktisi sekaligus akademisi
sastra Sunda yang banyak menulis sajak, prosa, maupun drama dalam bahasa
Sunda. Sebagai akademisi, keduanya memang seorang pendidik dan
peneliti. Wahyu Wibisana, misalnya, pernah menjadi guru SD dan dosen
tamu di IKIP Bandung. Selain itu Wahyu pun banyak melakukan penelitian
dalam bidang sastra Sunda, menyusun kurikulum mata pelajaran bahasa dan
sastra Sunda, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menulis berbagai
makalah tentang sastra Sunda yang disampaikan dalam forum pendidikan.
Yus Rusyana adalah guru besar bahasa dan sastra Indonesia dan Sunda pada
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Banyak melakukan
penelitian, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menyampaikan
prasaran dalam forum ilmiah. Beliaulah sastrawan Sunda yang pertama
mendapat hadiah Rancagé lewat karyanya Jajatén Ninggang Papastén (1989).
Selain sebagai sastrawan, keduanya dapat ditempatkan sebagai tokoh
akademisi dalam sastra Sunda.
Tokoh kelimabelas dan keenambelas adalah Godi Suwarna (1956-sekarang)
dan Etty R.S. (1958-sekarang). Keduanya pengarang sajak Sunda yang
sangat potensial. Godi Suwarna pernah menggemparkan jagat Sunda berkat
sajak-sajaknya yang dekonsturktif. Kata-kata dalam sajak-sajak Godi
punya idiom bahasa Sunda yang khas. Idiom tersebut merupakan paduan
antara bahasa Sunda lulugu, dialek, dan populer. Selain piawai menulis,
Godi juga sangat terampil membaca sajak.
Adapun Etty R.S. merupakan pengarang wanita dalam sajak Sunda yang kuat
dalam memilih diksi. Sajak-sajaknya realistis dan sedikit arkhais.
Banyak yang menyatakan bahwa Etty pelopor pengarang wanita dalam menulis
sajak Sunda kontemporer. Baik Godi maupun Etty R.S., keduanya merupakan
pelopor dalam penulisan sajak Sunda kontemporer. Di tangan Godi dan
Etty, sajak Sunda dapat disukai oleh remaja dan anak-anak sekolah.
Terbukti dalam setiap perlombaan deklamasi sajak Sunda antarpelajar,
sajak Godi dan Etty selalu menjadi sajak wajib untuk dideklamasikan.
Itulah 16 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. Dari jumlah tersebut,
beberapa di antaranya sempat mendapat hadiah Rancagé, Yus Rusyana untuk
karya (1989) dan jasa (2000), RAF untuk karya (1991) dan jasa (1998),
Godi Suwarna untuk karya (1993, 1996, 2008), Kis Ws untuk jasa (1993),
Sayudi untuk jasa (1994), Etty RS untuk karya (1995), Wahyu Wibisana
untuk jasa (1997), Duduh Durahman untuk jasa (1999), dan Tini Kartini
untuk jasa (2003).
Sebenarnya masih banyak tokoh sastra Sunda lainnya yang berpengaruh.
Sebutlah, antara lain R. Méméd Sastrahadiprawira, Moh. Ambri, Ki Umbara,
Sjarif Amin, Muh. Rustandi Kartakusuma, Abdullah Mustapa, Yoseph
Iskandar, H. Rusman Sutiasumarga, Dedy Windyagiri, Holisoh MÉ, dan
Tatang Sumarsono. Dengan demikian, maka apa yang dapat dilakukan?
Kiranya harus ada tulisan tentang 100 tokoh berpengaruh dalam sastra
Sunda. ***
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar