SEBUAH buku klasik, tak ubahnya musik klasik, perlu ditampilkan
ulang
dengan sentuhan berbeda agar terus dapat diapresiasi generasi yang
baru. Penggemar sonata Beethoven akan selalu tertarik untuk
mendengarkan rekaman dan pertunjukan barunya karena tidak ada satu
versi yang definitif untuk musik tersebut. Sebuah karya klasik memiliki
potensi itu karena di dalamnya terdapat ruang yang luas untuk banyak
interpretasi dan sudut pandang. Tidak mengherankan jika karya klasik
Shakespeare terus dapat ditampilkan dan dipertunjukkan dalam berbagai
versi modern. Sastra klasik Jepang memiliki karya yang sering
disetarakan dengan Shakespeare, yaitu sebuah novel abad kesebelas yang
berjudul Genji Monogatari (Kisah Genji).
Genji Monogatari adalah salah satu buku tertua dan
paling masyhur dalam
khazanah sastra klasik Jepang. Buku ini, yang dinobatkan Unesco sebagai
novel pertama dunia, berkisah tentang pangeran Hikaru dari klan Genji
dan petualangannya di istana kerajaan, keterlibatannya dalam
serangkaian percintaan, pengkhianatan serta pengucilan politis. Di
antara buku-buku klasik Jepang, Genji Monogatari termasuk karya yang
sulit dibaca, bukan hanya lantaran panjangnya yang mencapai 750.000
kata tetapi juga karena ditulis dalam citarasa bahasa yang kuno.
Novel ini lahir dari tangan Murasaki Shikibu,
seorang wanita yang
tinggal di istana kerajaan Heian (795-1192) di Kyoto. Dibesarkan di
tengah keluarga gubernur Fujiwara, Murasaki tumbuh sebagai anak yang
pintar dan belajar lebih cepat dibanding saudara laki-lakinya.
Orangtuanya mengizinkan Murasaki mempelajari bahasa Cina yang dipandang
tidak pantas bagi perempuan di masa itu. Murasaki dapat membaca
literatur Cina yang masuk ke Jepang pada abad kesebelas dan mengasah
kemampuan menulisnya dengan latar budaya Cina. Setelah suaminya
meninggal pada 1001, keluarga kerajaan memanggil Murasaki untuk tinggal
di istana lantaran bakat menulis dan otaknya yang cemerlang. Di sinilah
Murasaki mulai menulis diari tentang kehidupan di istana yang
mempengaruhi penulisan novelnya.
Pada akhir abad kedua puluh yang lalu Genji
Monogatari kembali muncul
dalam daftar buku terlaris di Jepang. Seorang pendeta dan novelis
wanita dari Kyoto bernama Setouchi Jakucho mencoba menulis ulang buku
tersebut ke dalam bahasa Jepang modern dan memberi tafsiran baru
terhadap tindakan seksual tokoh-tokohnya. Terjemahan modern ini terbit
pada tahun 1999 dalam bentuk sepuluh jilid buku yang mendapat sambutan
luas dan memicu ledakan popularitas novel klasik ini di tengah
masyarakat Jepang.
Yang dilakukan Setouchi adalah penyederhanaan gaya
bahasa Murasaki dan
mengubah novel itu menjadi sebuah bacaan ringan yang dapat dinikmati
oleh segala lapisan usia. Genji versi baru ini menjadi sangat populer
terutama di kalangan pembaca perempuan dan terjual lebih dari dua juta
eksemplar dalam tahun pertama penerbitannya. Sebuah drama kabuki lantas
mengadaptasi kisah Genji modern versi Setouchi ini ke dalam pertunjukan
yang dipentaskan di teater Kabukiza Tokyo pada Mei 2000.
Setouchi memang bukan orang pertama yang
mengupayakan versi modern
karya klasik berusia satu milenium ini. Pelopor penyediaan terjemahan
modern atas karya ini adalah Yosano Akiko (1878-1942), seorang penyair
dan esais yang terlibat dalam gerakan pembebasan perempuan Jepang.
Karya Yosano Akiko terbit dalam rentang tahun 1912 hingga 1914. Dalam
abad-abad sebelumnya karya Murasaki sering dikutip dan mendapat
tempat terhormat dalam perbincangan sastra Jepang namun baru di awal
abad kedua puluh ada upaya untuk menjadikannya bacaan yang dapat
dinikmati di luar lingkaran akademis yang pekat.
Beberapa tokoh sastrawan Jepang abad kedua puluh
lain juga telah
mengupayakan terjemahan modern Kisah Genji. Penulis cerpen dan novelis
Tanizaki Junichiro mengupayakan tiga versi Genji modern pada 1938, 1949
dan 1964. Versi tahun 1938 dilarang beredar oleh pemerintahan militer
karena memuat kisah hubungan gelap Genji dengan ibu angkatnya
Fujitsubo, versi tahun 1949 mencoba menampilkan Genji dalam tatabahasa
kuno yang setia pada buku aslinya, dan versi yang terakhir tampil dalam
bahasa sastra Jepang modern.
Novelis Enchi Fumiko menulis ulang novel tersebut
pada 1971 dengan
memberi deskripsi yang lebih mendetail pada adegan-adegan percintaan
dibanding yang diuraikan Murasaki. Komikus Yamato Waki membuat versi
komik dari kisah Genji dengan judul Asaki yume mishi (Impian sesaat).
Komik yang terdiri dari 13 jilid ini telah terjual sebanyak 17 juta
kopi sejak terbitnya pertama kali pada 1980 dan pernah diadaptasi ke
dalam pertunjukan drama yang dimainkan oleh opera Takarazuka Kageki.
Terjemahan yang paling serius diupayakan oleh Hashimoto Osamu pada 1995
dengan memberikan banyak catatan kaki. Berbagai versi terjemahan modern
ini masih beredar di pasaran, namun di antara seluruhnya hasil kerja
Setouchi adalah yang mendapat sambutan paling baik dari publik pembaca
Jepang dan mengantarkan karya klasik itu ke tengah pembicaraan
masyarakat awam.
Dunia di luar Jepang mengenal Genji Monogatari
melalui terjemahan
Inggris yang dilakukan pertama kali oleh Arthur Waley. Edisi Waley
terdiri dari enam jilid buku yang terbit antara tahun 1925 hingga 1933.
Meski sering dikritik sebagai tidak akurat dan terlalu memanipulasi
teks aslinya, namun berdasarkan edisi Waley inilah kisah Genji dikenal
dunia dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Genji dalam
bahasa Jerman digarap oleh Oscar Benl pada 1966 dan dalam bahasa
Perancis oleh Rene Seiffert pada 1978-88. Novel ini juga sudah
dialihkan ke bahasa Rusia, Korea, Cina, Ceko, Italia dan Finlandia.
Terjemahan bahasa Inggris yang lengkap dan lebih hati-hati dibanding
sebelumnya dilakukan lagi oleh Edward Seidensticker pada 1976.
Pada tahun 2001 terjemahan Inggris yang ketiga atas
novel tertua dunia
ini diterbitkan oleh Viking Penguin. Hasil kerja Royall Tyler, seorang
profesor bahasa dan sastra Jepang di Australian National University,
ini muncul dalam bentuk dua jilid buku dengan ketebalan total lebih
dari seribu halaman. Terjemahan ini berbeda dari dua upaya terdahulu
dalam soal kedekatannya dengan gaya asli Murasaki dan banyaknya catatan
tambahan untuk menjembatani perbedaan budaya antara pembaca dengan
dunia yang dilukiskan dalam novel tersebut. Versi Tyler ini antara lain
memuat daftar tokoh dan ringkasan plot di awal setiap bab untuk
membantu seorang pembaca pemula memasuki dunia Genji yang rumit dan
berlapis-lapis.
Tentu bukan sekadar usia tuanya yang membuat novel
ini tetap dihargai.
Genji Monogatari adalah sebuah adikarya yang ditulis dengan karakter
dan setting yang terasa nyata, narasi yang deskriptif bagaikan sebuah
jendela untuk menyaksikan sebuah dunia yang luas dan utuh. Seorang ahli
sastra Jepang Donald Keene menyebutnya bukan sekadar sebagai novel
tertua, tetapi juga salah satu novel terbaik dunia dan sebuah fenomena
budaya. Kehadiran terjemahan Jepang modern dari Setouchi dan terjemahan
Inggris baru dari Tyler kini mengantarkan adikarya klasik itu ke
kalangan pembaca yang lebih luas.[]
Tokyo,
Juni 2002. Pernah dimuat di suplemen Ruang
BacaKoran Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar