I’m blind and stupid…kata dalam Bahasa Inggris itu
mengawali novelnya. Aku buta dan bodoh…. Seketika membuatku menarik korelasi
antara kalimat itu dengan pengarangnya. Aku tahu ada poin “benar-salah” dalam
kalimat itu yang bisa aku terapkan sama sang penulis…. Dan tentu saja dia tidak
bodoh; kalau bodoh tentu mustahil bisa menulis novel brilian itu, ya, kan?
Hanya saja, dia memang buta; penulis itu memang seorang tunanetra. Namanya Ari
Sulaiman Sofyan, dan dia sebaya denganku.
Novel itu berjudul, “Raven Colony”.
Menurut katalog dari penerbitnya, buku itu bergenre Fiksi Ilmiah, tapi aku
sendiri nggak terlalu setuju—maksudku, meski memang novel itu berseting masa
depan di sebuah koloni manusia di Phobos, salah satu bulan planet Mars, tapi
tetap saja berfokus pada kisah manusianya. Bisa dibilang, kalau si penulis
hendak mengemukakan sebuah argumen kalau manusia itu egois, korup,
eksploitatif, manipulatif, dimanapun manusia berada. Dan tentu saja dia juga
mengemukakan counter argument-nya dengan mengambil tokoh utama seorang cewek
naïf yang terjebak antara dua faksi, yang dari sudut pandang cewek itu, pembaca
dibuat terombang-ambing dalam penentuan mana yang baik dan mana yang jahat.
Tema yang biasa, aku rasa; bagaimana kebaikan mengalahkan kejahatan, victory of
good over evil. Ya, tema yang biasa…, tapi setelah membacanya… aku… aku jatuh
cinta….
Berbeda dengan penulisnya, tokoh
utama novel itu tidak buta, tapi bodoh… atau lebih halusnya, naïf…, yang
mengingatkan aku sama diriku sendiri…. Ya, harus aku akui itu…. Mungkin aku
punya masalah dengan rasa percaya diri—maksudku, orang-orang di sekitarku sama
sekali nggak menganggap aku bodoh, aku hanya…. Well, aku percaya sama penilaian
Papa, dan beliau bilang, aku nggak bodoh, malah sebaliknya, aku sangat cerdas,
tapi aku selalu mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan. Aku ingat Papa
pernah menasihatiku, “Come on, Erin! Yang jadi masalah itu bukan pilihannya,
tapi konsekuesinya; apa kamu bisa bertanggung jawab atau tidak sama pilihan
kamu itu, ya, kan? So…, hit hard! Shoot to kill! Burn the bridge behind you,
leave no retreat!” Dan… novel itu menekankan, menegaskan, emphasize nasihat
Papa itu….
Ya, bisa dibilang novel itu menjalin
ikatan yang… yang pribadi dengan diriku. Karenanya, aku ingin tahu lebih jauh
lagi siapa Ari Sulaiman Sofyan itu. Kupikir dengan Google dan jejaring sosial
aku bisa mudah cari tahu, tapi ternyata…. Memang dia punya beberapa akun di
beberapa jejaring sosial, bahkan dia juga punya website, tapi semua itu
dikelola bukan oleh dirinya. Bagaimanapun dia buta, tunanetra, tidak bisa
melihat; dia punya keterbatasan yang bisa membuat kamu bertanya-tanya apakah
status yang kamu baca di layar itu benar-benar dari dirinya atau bukan. Jikapun
ya, dia mesti minta tolong sama “seseorang” untuk membacakannya sekaligus
meresponnya yang bisa jadi akan terdistorsi, altered, atau terbiaskan oleh
opini “seseorang” itu…, meskipun kemudian aku tahu “seseorang” itu adalah
kakaknya sendiri bernama Annida Bilqis Sofyan. Bagaimanapun… apa yang aku
temukan di internet tidak memuaskan aku…. Lalu aku melihat spanduk di sebuah
perempatan jalan yang mengumumkan adanya sebuah pameran buku; salah satu
event-nya adalah jumpa fans dengan Ari Sulaiman Sofyan….
Tentu saja aku akan berusaha hadir
di jumpa fans itu; aku akan bertanya pada sesi tanya jawab, aku akan minta
tanda tangannya…, tapi kamu tahu? Tiga hari sebelum pameran itu, aku
ditakdirkan bertemu dengannya…, tidak hanya sekali, tapi…, tapi itu juga
ternyata tidak bisa membuatku merasa lebih..baik…
Oh, maafkan aku, aku belum
sempat memperkenalkan diri. Namaku Erin, Erinna Sumiati Keener; Sumiati dari
nama belakang Mama yang asli kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Keener dari
nama belakang Papa, seorang mualaf asal Houston, Texas. Aku sendiri lahir dan
besar di Bandung. Kami tinggal di sebuah kompleks pemukiman yang bisa dibilang
elit, di sisi utara Bandung. Hanya saja…, apa kamu pernah memperhatikan pola
layout setiap kompleks pemukiman? Sejauh yang aku tahu, mau elit atau tidak,
setiap aku memasuki suatu kompleks pemukiman, segera aku temui seruas boulevard
yang di kanan-kirinya berjejer Rumah Toko atau Ruko, kamu setuju, kan? Anyway,
hal itu nggak berbeda dengan kompleks perumahan tempat aku tinggal. Aku perlu
menceritakan ini karena… aku bertemu dengannya di salah satu Ruko itu.
Usiaku delapan belas tahun. Aku baru
keluar dari SMA dan baru menginjakkan kaki di semester pertama dalam
perjalananku menuju Sarjana Pendidikan. Terus terang, dunia pendidikan bukanlah
panggilan jiwaku, maksudku aku tidak pernah bercita-cita jadi guru atau
semacamnya, dan terus terang aku tidak tahu akan jadi apa nantinya; perlu kamu
tahu cita-citaku berubah-ubah sesuai dengan suasana hatiku. Setelah aku membaca
novel “Raven Colony” itu, kamu bisa mengerti kan kalau kini aku bercita-cita
jadi penulis? Anyway, satu-satunya pertimbangan kenapa aku masuk Fakultas
Pendidikan adalah kampusnya dekat dengan rumah, hanya itu. Dan ternyata, itu
juga yang menjadi sebab aku bisa bertemu dengan Ari S. Sofyan.
Kampusku memang dekat dalam artian
aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki, dan aku suka berjalan kaki. Mungkin
aku agak sentimentil dengan mengatakan ini, tapi aku suka berangkat pagi-pagi
sekali, menghirup udara segar, menapaki paving block yang telah bersih disapu
para petugas kebersihan, lalu menyusuri boulevard yang akan mengantar aku
keluar dari kompleks perumahan, melihat-lihat beberapa Ruko yang menggeliat
membuka diri pada harapan dan janji sang hari…, aku suka itu. Lalu ketika aku
pulang sore hari, aku suka berjalan menyusuri boulevard yang sama, menyaksikan
ayunan lembut aktifitas orang-orang yang santai dan lebih menikmati hidup dari
pada hiruk pikuk rat-race di pusat kota; obrolan para paruh baya di sebuah kios
surat kabar tentang sepak bola semalam, beberapa mahasiswa yang bersenda gurau
di sebuah coffee shop, atau melihat sesama muslimah yang pilih-pilih pernak
pernik di sebuah butik jilbab dan kerudung. Sentimentil banget, ya?
Anyway, sore itu aku pulang kuliah,
aku melihat sebuah kedai yang sepertinya baru. Kedai itu berpapan nama, Pie and
Pizza, dengan tulisan kecil di bawahnya, “Whatever you like, pie or pizza, we
serve it Halal.” Tulisan itu memang cukup menarik perhatianku, tapi sangat
sebentar, karena ketika aku berjalan melewati kedai itu, melihat menembus
jendela kaca, hanya sekedar memindai kegiatan orang-orang di dalamnya, lalu aku
melihat dia…. Ari Sulaiman Sofyan, tengah duduk di sebuah meja, berkacamata
hitam, menghadap sebuah laptop yang tengah menyala. Aku tertegun seketika, aku
berhenti berjalan dan menatapnya. Sempat aku bertanya-tanya, benarkah siapa
yang aku lihat itu? Yang aku tahu dia buta, ya, kan? Lalu kenapa dia bisa duduk
menghadap layar laptop jika tidak bisa melihat? Tapi….
Di-dia memang buta…. Dia tidak
melihat layar laptop itu! Dia hanya membiarkan jemarinya menari di atas
keyboard yang jelas sekali telah dia kenal posisi tiap tuts-nya.
Aku terkesima…. Aku terdiam
cukup lama, sampai kemudian kesadaranku menepuk kepalaku dan berkata kalau aku
bertingkah seperti orang bodoh. Aku lanjutkan langkahku, tapi…. Kamu bisa
mengerti kan kalau langkahku kini melambat, dan nalarku mempertimbangkan alasan
terbaik untuk memasuki kedai itu dan menghampirinya? Mungkin aku akan
memperkenalkan diriku, atau… atau meminta tanda tangannya….
Masya Allah…, aku berdebar-debar!
Seiring aku meramu skenario untuk menjumpainya, keraguan mulai merayap dan
mencengkram dadaku. Bagaimana kalau dia itu orangnya ketus? Bagaimana kalau dia
itu nggak sebaik yang aku sangka? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
mendorong-dorong langkahku untuk tetap lurus kearah rumah, tapi…. Kemudian
nasihat Papa berdering di kepalaku.
“Hit hard…. Shoot to kill…,” bisikku
setengah menggeram. Lalu aku putar arah langkahku.
Aku masuki kedai itu, tapi aku
tidak menghampiri sang penulis. Dengan langkah konstan aku hampiri counter
meski mataku tetap terpaku pada sosok tunanetra itu.
Di counter aku disambut
seorang muslimah berkacamata dan berjilbab lebar dengan corak unik yang menjadi
seragam pramusaji kedai ini.
“Pesan apa, Teh?” tanya sang
pramusaji ramah.
“Maaf, mau tanya, apa pria yang di
sana itu Ari Sulaiman Sofyan?” tanyaku setengah berbisik seraya menunjuk ke
meja yang aku maksud.
“Siapa?”
“Ari Sulaiman Sofyan,” jawabku
seraya merogoh tas, mengeluarkan novel “Raven Colony”, dan memperlihatkan
sampul belakangnya yang terdapat foto sang penulis kepada pramusaji itu. “Yang
menulis novel ini.”
“Oh, benar juga,” tanggap sang
pramusaji meski tampak tidak terlalu terkesan dan itu membuatku sedikit kecewa.
Pramusaji itu mungkin tidak suka novel. “Apa ceritanya bagus?”
“Brilian.”
“Fans-nya, ya?”
Wajahku terasa sedikit
memanas. “Bisa dibilang begitu.”
“Bisa minta tanda tangan, dong?”
Aku terdiam sejenak. Aku perhatikan
sang penulis itu, lalu kemudian berkata, “Sepertinya dia lagi sibuk, ya?
Mungkin lain kali saja.”
Pramusaji itu tersenyum. “Ada lagi
yang bisa saya bantu, Teh?”
“Oh, ya! Saya pesan… ada pizza yang
kejunya ekstra?”
“Oh, ya, rekomendasi saya ini.”
Pramusaji itu menekan display sentuh di sampingnya dan menunjukkan gambar dan
nama satu nampan pizza.
Aku pesan pizza itu tanpa berpikir
lagi; aku pesan pizza itu untuk dibawa pulang. Papa pasti suka pizza itu. Aku
sendiri… tidak menyentuhnya. Bukannya aku tidak suka pizza, tapi…. Entahlah….
Sejak dari kedai itu, debar di dadaku sepertinya tidak mau berhenti….
Masya Allah…, apa yang tengah aku
rasakan ini sebenarnya?
Keesokan harinya, debar itu masih
aku rasakan; debar yang terangkum utuh dalam harapan, “Apa nanti sore dia bakal
ada lagi di kedai itu?” Hanya saja, debar itu terpasung oleh sebuah tantangan,
“Memangnya kalau dia ada, kamu bakal berani menghampirinya dan minta tanda
tangannya?” Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku setiap menghadapi itu. But
still…, debar itu tetap ada, dan semakin menyesakkan…
Dan, ya… sore itu juga aku
melihatnya lagi di kedai itu…, di meja yang sama…, masih menulis seperti
kemarin…. Aku tahu aku bisa menghampirinya dan meminta tanda tangannya; tidak
ada yang salah dengan itu, kan? Itu merupakan bentuk apresiasiku terhadap
karyanya, kan? Jelas tidak ada yang salah dengan itu! Tapi….
Aku masuki kedai itu. Aku hampiri
counter sambil sesekali melirik penulis itu. Pramusaji yang sama yang
menyambutku. Dia tersenyum.
“Pesan apa, Teh? Atau… mau ngecengin
penulis pujaannya?”
Aku sempat gelagapan, tapi segera
kukuasai diri dan berkata, “M-mau coba pie-nya.”
Dia tersenyum makin lebar. “Oh,
kalau begitu, ini pilihan pie yang ada. Maaf, untuk pie buah kiwi kami
kehabisan persediaan.”
Aku pesan pie apel dan strawberi
milkshake, tapi kali ini tidak aku bawa pulang. Aku pilih salah satu meja yang
sebenarnya relatif jauh dari Ari S. Sofyan, tapi punya sudut pandang yang
jelas. Aku bisa memperhatikannya tanpa terhalang apapun.
Aku nikmati pie apel itu sambil membuka-buka
buku catatan kuliah sepanjang hari tadi, dan sambil sesekali memperhatikan Ari
S. Sofyan. Menyedihkan, bukan? Aku tahu aku bisa menghampirinya, meminta tanda
tangan, mengajukan beberapa pertanyaan atau semacamnya, tapi… tapi selanjutnya
apa? Ya…, apa selanjutnya? Harus aku akui saat mendapati pertanyaan itu, ada
dorongan hasrat yang… yang mengatakan kalau aku ingin lebih…. Lebih dari
sekedar tanda tangannya, lebih dari sekedar tanya-jawab….
Aku mendesah. Apa-apaan aku ini? Apa
yang salah denganku? Tapi kemudian aku menggeleng-geleng kepala, aku alihkan
perhatianku sejenak pada Kalkulus dan Geometri Analitis di depanku. Kamu tahu?
Aku berpaling hanya satu atau dua menit, tapi ketika aku melirik kembali meja
itu, aku tidak lagi melihat Ari S. Sofyan. Ke-kemana dia?!
Dengan cepat aku lempar pandanganku
ke pintu kedai, tapi dia tidak ada di sana. Dengan cepat aku beranjak dan
setengah berlari mencapai pintu itu dan keluar. Aku lihat kiri-kanan, memindai
pesisir boulevard, mencari sosok buta sang penulis. Dia tidak ada di mana-mana.
Masa sih dia bisa bergerak cepat!
“Cari siapa, Teh?”
Aku melompat kaget. Pramusaji yang
tadi telah berada di belakangku.
“Oh-uhm, tidak, tidak apa-apa,”
jawabku.
“Cari penulis itu, ya?” Dia
tersenyum nakal.
“Umm…, kamu lihat ke arah mana dia
pergi?”
Kulihat sorot mata di balik kacamata
pramusaji itu berubah menyelidik, tapi senyumnya masih tersungging. Lalu dia
berkata, “Ngefans, atau naksir, nih?”
Kamu tahu? Seandainya saja atas
kepalaku disiram air, mungkin akan segera menguap karena mendadak mukaku terasa
panas. Aku diam tertegun.
“Duh, mukanya merah tuh,” goda
pramusaji itu. “Aku jadi penasaran, bagaimana cerita novel itu sampai kamu bisa
kesengsem seperti itu.”
Aku terdiam. Aku gigit bibir
bawahku.
“Boleh aku pinjam novelnya?” tanya
pramusaji itu.
“Oh-uhm, y-ya, ya…, tentu….” Aku
masuk kembali ke dalam kedai dan pramusaji itu mengikuti aku. Aku ambil novel
“Raven Colony” dari tas dan menyerahkannya.
“Hmm, mungkin aku bisa bantu minta
tanda tangannya buat kamu,” kata pramusaji itu.
“Jangan!” pekik aku yang terus
terang tidak sepenuhnya aku sadari.
“Eh, kenapa?”
Aku tertegun. Aku tidak bisa
menjawab.
“Oh, mungkin kamu mau melakukannya
sendiri, ya? Nggak apa-apa,” ucap si pramusaji menanggapi diamku.
“Ehmm, besok lusa ada… ada jumpa
fans-nya di Pameran Buku, di jalan Braga. Aku rasa itu saat yang tepat,” kataku
meski terkesan agak memaksakan diri.
“O’ya? Bagus deh, kalo gitu. Tapi
masih boleh pinjam, kan? Aku lumayan pembaca yang cepat. Besok juga beres.”
Aku hanya mengangguk. Kemudian dia
berterima kasih dan meminta diri untuk kembali bekerja, dan akupun membereskan
buku catatan dan tasku lalu aku pulang. Keesokan harinya aku tidak melihat Ari
S. Sofyan di kedai itu, tapi aku masuki kedai itu. Aku hendak menagih novelku ke
pramusaji itu. Sempat aku bertanya-tanya kemana gerangan Ari S. Sofyan, tapi
aku hanya bisa berasumsi kalau dia mungkin bersiap-siap untuk pameran besok.
Anyway, aku hampiri counter tapi aku tidak segera disambut oleh pramusaji itu.
Aku lihat pramusaji itu berdiri di depan sebuah pintu yang tengah terbuka, dan
dia tidak sendiri. Dia tengah berbicara dengan seorang pria berpakaian tipikal
seorang koki. Dia sempat melihat aku dan sempat memberi aku isyarat untuk
menunggu. Sebentar kemudian pria itu membebaskannya dan membiarkan pramusaji
itu menghampiriku.
“Sori membuat kamu nunggu. Dilematis
juga kalau punya boss yang merangkap jadi suami,” katanya seraya menghela nafas
panjang. “Kamu mau ngambil novel kamu, ya? Tapi, bisa nunggu sebentar, kan?
Kamu boleh pesan apa aja. It’s on the house.”
Aku sempat menolak tawarannya, tapi
dia memaksa dan membuatku memesan segelas strawberry milkshake. Aku duduk di
salah satu meja dan menunggu. Aku menunggu tidak terlalu lama. Pramusaji itu
datang dan mengembalikan novelku seraya duduk di hadapanku.
“Kayaknya layak buat dibeli, ya?”
katanya.
Aku tersenyum. “Sangat,” tanggapku.
“Tapi…, mungkin gara-gara aku sudah
tahu pengarangnya buta, ya, kalau aku jadi…, gimana, ya? …Beranggapan kalau
tokoh utamanya itu sebenarnya dirinya sendiri, meski beda jenis
kelamin—maksudku, sikap plin-plannya, naifnya, sebenarnya berasal dari dirinya
sendiri yang… yang berasal dari perasaan insecurity…, perasaan nggak aman
akibat… keterbatasan dirinya….”
Aku tercenung sesaat. “Ya…, aku
setuju. Tapi masalahnya, dia berhasil menuliskannya. Aku melihat novel ini
jadi… jadi semacam inner struggle…, perang batin dirinya yang berusaha untuk
tidak takluk pada… keterbatasannya, pada perasaan insecurity-nya…. Dan dia
berhasil! Novel ini buktinya…. Novel ini adalah pialanya….”
“Wow, itu nggak pernah terpikir
olehku,” tanggap si pramusaji kagum.
“Menurutku sendiri, tokoh utamanya
itu… seperti aku,” lanjutku. “Kamu lihat sendiri, kan? Aku nggak punya
keterbatasan apa-apa, tapi… minta tanda tangan-nya saja nggak bisa…. Padahal
aku tinggal mendatanginya, ya, kan? Tapi….”
“Tapi kamu ingin lebih dari sekedar
tanda tangannya, ya?”sambung pramusaji itu dengan suara yang lembut.
Aku mendengus lemah. “Entahlah,”
jawabku seraya berpaling sejenak ke jendela. “Aku hanya ingin tahu bagaimana
dia bisa menuliskannya…. Bagaimana dia bisa mengambil tokoh yang… yang
seolah-olah menjiplak aku…, tapi nggak sampai di situ, dia juga seolah-olah
mengkonfrontasi aku; ba-bagaimana kalau seandainya aku dihadapkan dengan
pilihan yang-yang menyangkut orang banyak, menyangkut hidup-mati orang yang
kita sayangi? Dia juga menunjukan sebuah konsep dimana ketika kita memutuskan
sebuah pilihan, kita juga ‘membunuh’ pilihan yang lainnya, yang justru itu
meng-emphasize argumen kalau ‘tidak memilih’ juga merupakan pilihan yang… yang
akan meng-annihilate pilihan yang ada. Dan… dan dia berhasil menyelesaikan
novelnya…, tersimpulkan secara utuh…. Sementara aku…, aku merasa tertinggal…,
nggak seperti sang heroine dalam novelnya, aku masih plin-plan… masih punya
krisis percaya diri…. Seandainya yang kamu bilang itu benar, kalau dia memang
punya perasaan insecurity yang akut, dengan terbitnya novel ini, berarti dia
sudah melampauinya…. Aku… aku hanya ingin… sedikit nasihat darinya…, itu saja
aku rasa.”
Kulihat pramusaji itu tersenyum
lembut. “Kamu jatuh hati sama dia, ya?”
Aku mendengus, dan terus
terang aku hendak menyangkalnya, tapi… bagaimana aku bisa menyangkal sesuatu
yang sudah jelas. Aku diam…, hanya bisa diam dan merunduk.
Aku menengadah ketika aku rasakan
punggung tanganku di tepuk pramusaji itu. Dia tersenyum. “Kamu tahu? Memang
kadang sebuah pilihan bisa membawa kita kepada rasa sakit, entah itu sakit hati
atau apalah. Tapi kamu tahu? Seorang Yunani pernah bilang,
‘Imbalan dari rasa sakit adalah
pengalaman.’”
“Aeschylus, penulis drama jaman
Yunani kuno,” timpalku.
“Tuh, kamu lebih berwawasan daripada
aku. Nasihatku jadi kurang bermakna, ya?”
Aku tersenyum. “Bagaimanapun aku
berterima kasih.”
“Sama-sama. Oh, sori. Aku mesti
kembali kerja. Good luck buat besok, ya?”
Sepeninggal pramusaji itu, aku
menghela nafas panjang. Memangnya apa yang bisa aku lakukan besok? pikirku.
Pertanyaan itu menggaung dalam kepalaku tanpa mampu aku jawab.
Keesokan harinya aku sudah berniat
bolos kuliah, tapi… aku tidak bisa. Jangan tanya alasannya, tapi aku bisa
bilang kalau itu karena aku… nggak punya skill persuasif yang baik…, aku bukan
pembohong yang lihai. Alhasil, aku terlambat ke jumpa fans itu; tidak hanya
itu, di tengah perjalanan hujan turun deras. Aku sampai di pameran buku itu
kebasahan—tidak basah kuyup, tapi cukup basah untuk menghindari
berdesak-desakan. Tapi, semua itu bukan yang terburuk. Ketika aku sampai di
jumpa fans itu, para hadirin tengah bertepuk tangan lalu diikuti MC yang berkata,
“Mungkin satu lagi pertanyaan, ya, Kang Ari?”
Kulihat Ari S. Sofyan tengah duduk
di atas panggung dan dia mengangguk.
Demi Allah, seharusnya aku bisa
mengambil kesempatan itu! Seharusnya aku bisa dengan agresif mengacungkan
tangan dan bertanya langsung, tapi… tapi aku malah membiarkan seorang siswa SMP
berdiri dan bertanya, “Nama saya Siti, dari SMPN 10, saya mau tanya, apa ada
tips-tips buat menulis dengan baik—maksudnya supaya bisa lebih pede nulis? Gitu
aja. Terima kasih.”
Kulihat Ari S. Sofyan terdiam
sejenak. “Ini pertanyaan terakhir, ya? Terus terang, saya pikir akan ada yang
bertanya, bagaimana saya bisa jadi buta? Sebelum menjawab pertanyaan Rayi Siti,
ada baiknya saya ceritakan itu dulu. Saya buta karena kecelakaan. Kejadiannya
nggak jauh dari sini. Di sebelah selatan Braga; di sana ada banyak bangunan
jaman Belanda, ya, kan? Waktu itu jam sepuluh pagi, saya lagi pakai motor,
lumayan cepat. Terus tiba-tiba saya lihat ada semacam pemotretan di depan
sebuah gedung tua. Saya lihat ada modelnya, seorang perempuan… bisa dibilang
nyaris nggak pakai apa-apa. Saya melihat cuma sedetik, tapi akibatnya sangat
fatal. Roda depan masuk lubang, saya terlempar hingga muka saya membentur kaca
spion mobil yang tengah terparkir. Kedua mata saya robek.”
Ari S. Sofyan kemudian diam. Forum
Jumpa Fans ini mendadak terasa hening.
“Dari diamnya Anda sekalian, saya
berasumsi Anda menganggap cerita saya benar,” kata Ari S. Sofyan. “Sebenarnya
nggak. Itu nggak benar. Saya berbohong.”
Terdengar beberapa tawa kecil dari para
hadirin.
“Anda mungkin sekarang berpikir,
‘Dasar penulis fiksi!’ Tapi terus terang, apa karena saya penulis fiksi saya
berhak untuk berbohong? Novel yang saya tulis jelas tidak nyata, jadi apa saya
sebenarnya pembohong? Jadi…, tips pertama saya, bedakan dulu apa kamu itu
penulis fiksi atau pembohong. Bedanya cukup jelas, bukan? Pembohong itu
mengatakan sesuatu yang nggak benar supaya dianggap benar untuk tujuan
tertentu, setuju, kan? Sementara penulis fiksi…, yah, terus terang saya lebih
menganggap diri saya sebagai human analist, saya reka beberapa karakter
manusia, saya simpan di semacam wadah rekaan seperti Raven Colony, lalu saya
lihat apa yang akan terjadi. Dan novel saya itu adalah semacam laporan saya;
dan alhamdulillah, dari apresiasi Anda sekalian, saya bisa menganggap laporan
saya cukup baik, dan insya Allah, ada hikmahnya.
“Lalu soal pede, terus terang, saya
menulis bukan karena percaya diri. Terus terang, saya nggak percaya sama diri
saya sendiri. Baru saja saya berbohong, kan? Terus apa yang bisa dipercaya dari
diri saya kalau saya punya potensi untuk berbohong? Mungkin sekarang kamu akan
bertanya, ‘Terus percaya sama siapa, dong?’ Well, kenapa nggak percaya sama
yang Nggak Pernah Berbohong? Kenapa nggak percaya sama yang menciptakan kita, yang
menciptakan lima miliar manusia dengan ceritanya masing-masing, dan tiap
ceritanya adalah nyata? Dan ini menjadi premis untuk tips saya yang kedua;
berdoa. Ya, sering-sering berdoa. Saya pikir berdoa bukan hanya untuk
dikabulkan oleh Allah, tapi untuk mendefinisikan apa yang sebenarnya kita
inginkan; kalau nulis, apa yang sebenarnya ingin kita tulis. Tidak hanya itu,
berdoa juga melatih kita merangkai kata-kata, ya, kan?
“Mungkin hanya itu, tapi sebelum
acara ini berakhir, saya ingin menyampaikan ini. Terus terang, sebenarnya saya
tidak berhak mendapatkan apresiasi Anda. Anda lihat sendiri, saya buta. Memang
saya sudah hafal benar letak tuts keyboard, tapi kesalahan selalu saja ada, dan
saya tidak bisa memperbaikinya jika tidak ada kakak saya, Annida Bilqis Sofyan.
Sayangnya dia tidak bisa hadir di sini….”
Kata-kata Ari S. Sofyan selanjutnya
meredup dari perhatianku. Aku merunduk, tapi benakku penuh dengan… dengan
sensasi. Sensasi yang… seolah-olah “tips menulis” Ari S. Sofyan itu membuka
sebuah tabir yang menghalangi aku dari cahaya matahari. Aku ingin nasihatnya,
dan aku mendapatkannya.
Berdoa….
Kenapa itu tidak terpikir olehku?
Kenapa aku tidak berdoa saja kepada Dia yang menciptakan aku, yang
mengkondisikan aku menjadi seperti ini supaya aku bisa… bisa melampaui…
keterbatasanku?
Aku gigit bibir bawahku, lalu
kembali memperhatikan Ari S. Sofyan, tapi dia sudah tidak ada kecuali MC yang
tengah menutup acara. Aku tidak bisa apa-apa selain pulang.
Tapi aku tidak ingin segera pulang.
Aku merasa gamang. Aku merasa ada sesuatu yang belum lengkap…, sesuatu yang
belum conclude. Aku merasa mungkin… mungkin perasaan itu akan hilang kalau aku
berhasil minta tanda tangannya, tapi sepertinya kesempatan itu telah hilang…
setidaknya untuk hari ini…. Dan hari pun semakin sore.
Di luar hujan masih turun, tapi
tidak sederas sebelumnya. Aku berdiri agak dekat dengan pinggir jalan, tapi
terlindung dari hujan oleh lantai dua gedung pameran. Mungkin aku terlihat
seperti orang yang tengah menunggu hujan reda, dan memang ada benarnya juga,
tapi saat itu sebenarnya benakku tengah mereka-reka doa….
Ya Allah, Dzat Yang menurunkan hujan
ini, curahkan kepadaku cahaya-Mu…, aku mohon…. Jangan biarkan aku
terombang-ambing dalam keraguan…. Aku percaya Engkau ciptakan aku dengan
kondisi yang menurut-Mu terbaik untuk diriku…, karenanya aku mohon…, mudahkan
aku dalam… segala urusanku…, karena sungguh tiada yang mudah kecuali Engkau
mudahkan…, dan tiada yang sulit menjadi mudah, kecuali Engkau mudahkan….
Diantara beberapa doa yang aku
susun, mungkin itulah yang paling menyentuh batinku, dan tidak hanya itu, efek
selanjutnya benar-benar mengejutkan.
Aku ingat saat batinku merapal doa
itu, aku tengah menatap hujan. Terus terang saat itu perasaanku sedikit gamang,
mungkin bisa dibilang setengah melamun, tapi aku bisa merasakan ketulusan dari
doaku itu. Lalu tiba-tiba aku rasakan kehadiran seseorang di samping kananku.
Aku meliriknya dan seketika nafasku serasa tercekat.
“Ari Sulaiman Sofyan,” gumamku tanpa
sepenuhnya aku sadari.
“Ya?” Tanpa aku sangka dia merespon
gumamanku itu.
Gelagapan aku berusaha merespon,
“Maaf, ehm, bisakah ehmm Anda menandatangani novel saya—maksud saya, novel
Anda… yang-yang saya beli—maksud saya….”
Dia tersenyum. “Ya, tentu. Tapi…,
sepertinya suara kamu kedengaran familiar, deh. Nama kamu siapa, ya?”
Aku sebut namaku seraya menyerahkan
novelku.
Lalu tiba-tiba aku lihat sebuah
mobil berhenti di depan kami. Dari sisi kabin pengemudi aku melihat sosok
berpayung keluar dan berjalan cepat menghampiri kami.
“Sori. Sori. Aku telat. Aku telat,”
ucap sosok itu seraya menutup payung. Lalu aku lihat sosok yang aku kenali.
Pra-pramusaji itu!
Kulihat dia sempat terkejut
melihatku, tapi kemudian tersenyum lebar.
“Oh, Nid, ini perkenalkan,” ucap Ari
S. Sofyan. “Erinna.”
“Ya, kami sudah saling kenal,” jawab
pramusaji itu. “Tapi kami belum sempat bertukar nama, ya?” Dia menjulurkan
tangan untuk berjabat tangan. “Annida, kakaknya dia.”
Dengan perasaan yang nggak menentu
aku menyambut tangannya.
“Sori, aku nggak sepenuhnya berterus
terang. Maklumlah dia adik satu-satunya. Aku jadi agak overprotective.”
“Apa sih yang kamu bicarakan?” tanya
Ari S. Sofyan.
“Bukan apa-apa. Ayo Erin, kita
pulang sama-sama.”
“Oh-eh, sebaiknya saya naik bis
saja,” tanggapku.
“Oh, jangan konyol! Kita tinggal satu
kompleks!” seru dia seraya menarik tanganku, membuka payung, menggandeng
adiknya lalu menyeret kami ke mobilnya.