Kamis, 27 Desember 2012

Sang Penulis itu adalah...




I’m blind and stupid…kata dalam Bahasa Inggris itu mengawali novelnya. Aku buta dan bodoh…. Seketika membuatku menarik korelasi antara kalimat itu dengan pengarangnya. Aku tahu ada poin “benar-salah” dalam kalimat itu yang bisa aku terapkan sama sang penulis…. Dan tentu saja dia tidak bodoh; kalau bodoh tentu mustahil bisa menulis novel brilian itu, ya, kan? Hanya saja, dia memang buta; penulis itu memang seorang tunanetra. Namanya Ari Sulaiman Sofyan, dan dia sebaya denganku.

Novel itu berjudul, “Raven Colony”. Menurut katalog dari penerbitnya, buku itu bergenre Fiksi Ilmiah, tapi aku sendiri nggak terlalu setuju—maksudku, meski memang novel itu berseting masa depan di sebuah koloni manusia di Phobos, salah satu bulan planet Mars, tapi tetap saja berfokus pada kisah manusianya. Bisa dibilang, kalau si penulis hendak mengemukakan sebuah argumen kalau manusia itu egois, korup, eksploitatif, manipulatif, dimanapun manusia berada. Dan tentu saja dia juga mengemukakan counter argument-nya dengan mengambil tokoh utama seorang cewek naïf yang terjebak antara dua faksi, yang dari sudut pandang cewek itu, pembaca dibuat terombang-ambing dalam penentuan mana yang baik dan mana yang jahat. Tema yang biasa, aku rasa; bagaimana kebaikan mengalahkan kejahatan, victory of good over evil. Ya, tema yang biasa…, tapi setelah membacanya… aku… aku jatuh cinta….

Berbeda dengan penulisnya, tokoh utama novel itu tidak buta, tapi bodoh… atau lebih halusnya, naïf…, yang mengingatkan aku sama diriku sendiri…. Ya, harus aku akui itu…. Mungkin aku punya masalah dengan rasa percaya diri—maksudku, orang-orang di sekitarku sama sekali nggak menganggap aku bodoh, aku hanya…. Well, aku percaya sama penilaian Papa, dan beliau bilang, aku nggak bodoh, malah sebaliknya, aku sangat cerdas, tapi aku selalu mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan. Aku ingat Papa pernah menasihatiku, “Come on, Erin! Yang jadi masalah itu bukan pilihannya, tapi konsekuesinya; apa kamu bisa bertanggung jawab atau tidak sama pilihan kamu itu, ya, kan? So…, hit hard! Shoot to kill! Burn the bridge behind you, leave no retreat!” Dan… novel itu menekankan, menegaskan, emphasize nasihat Papa itu….

Ya, bisa dibilang novel itu menjalin ikatan yang… yang pribadi dengan diriku. Karenanya, aku ingin tahu lebih jauh lagi siapa Ari Sulaiman Sofyan itu. Kupikir dengan Google dan jejaring sosial aku bisa mudah cari tahu, tapi ternyata…. Memang dia punya beberapa akun di beberapa jejaring sosial, bahkan dia juga punya website, tapi semua itu dikelola bukan oleh dirinya. Bagaimanapun dia buta, tunanetra, tidak bisa melihat; dia punya keterbatasan yang bisa membuat kamu bertanya-tanya apakah status yang kamu baca di layar itu benar-benar dari dirinya atau bukan. Jikapun ya, dia mesti minta tolong sama “seseorang” untuk membacakannya sekaligus meresponnya yang bisa jadi akan terdistorsi, altered, atau terbiaskan oleh opini “seseorang” itu…, meskipun kemudian aku tahu “seseorang” itu adalah kakaknya sendiri bernama Annida Bilqis Sofyan. Bagaimanapun… apa yang aku temukan di internet tidak memuaskan aku…. Lalu aku melihat spanduk di sebuah perempatan jalan yang mengumumkan adanya sebuah pameran buku; salah satu event-nya adalah jumpa fans dengan Ari Sulaiman Sofyan….

Tentu saja aku akan berusaha hadir di jumpa fans itu; aku akan bertanya pada sesi tanya jawab, aku akan minta tanda tangannya…, tapi kamu tahu? Tiga hari sebelum pameran itu, aku ditakdirkan bertemu dengannya…, tidak hanya sekali, tapi…, tapi itu juga ternyata tidak bisa membuatku merasa lebih..baik… Oh, maafkan aku, aku belum sempat memperkenalkan diri. Namaku Erin, Erinna Sumiati Keener; Sumiati dari nama belakang Mama yang asli kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Keener dari nama belakang Papa, seorang mualaf asal Houston, Texas. Aku sendiri lahir dan besar di Bandung. Kami tinggal di sebuah kompleks pemukiman yang bisa dibilang elit, di sisi utara Bandung. Hanya saja…, apa kamu pernah memperhatikan pola layout setiap kompleks pemukiman? Sejauh yang aku tahu, mau elit atau tidak, setiap aku memasuki suatu kompleks pemukiman, segera aku temui seruas boulevard yang di kanan-kirinya berjejer Rumah Toko atau Ruko, kamu setuju, kan? Anyway, hal itu nggak berbeda dengan kompleks perumahan tempat aku tinggal. Aku perlu menceritakan ini karena… aku bertemu dengannya di salah satu Ruko itu.

Usiaku delapan belas tahun. Aku baru keluar dari SMA dan baru menginjakkan kaki di semester pertama dalam perjalananku menuju Sarjana Pendidikan. Terus terang, dunia pendidikan bukanlah panggilan jiwaku, maksudku aku tidak pernah bercita-cita jadi guru atau semacamnya, dan terus terang aku tidak tahu akan jadi apa nantinya; perlu kamu tahu cita-citaku berubah-ubah sesuai dengan suasana hatiku. Setelah aku membaca novel “Raven Colony” itu, kamu bisa mengerti kan kalau kini aku bercita-cita jadi penulis? Anyway, satu-satunya pertimbangan kenapa aku masuk Fakultas Pendidikan adalah kampusnya dekat dengan rumah, hanya itu. Dan ternyata, itu juga yang menjadi sebab aku bisa bertemu dengan Ari S. Sofyan.

Kampusku memang dekat dalam artian aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki, dan aku suka berjalan kaki. Mungkin aku agak sentimentil dengan mengatakan ini, tapi aku suka berangkat pagi-pagi sekali, menghirup udara segar, menapaki paving block yang telah bersih disapu para petugas kebersihan, lalu menyusuri boulevard yang akan mengantar aku keluar dari kompleks perumahan, melihat-lihat beberapa Ruko yang menggeliat membuka diri pada harapan dan janji sang hari…, aku suka itu. Lalu ketika aku pulang sore hari, aku suka berjalan menyusuri boulevard yang sama, menyaksikan ayunan lembut aktifitas orang-orang yang santai dan lebih menikmati hidup dari pada hiruk pikuk rat-race di pusat kota; obrolan para paruh baya di sebuah kios surat kabar tentang sepak bola semalam, beberapa mahasiswa yang bersenda gurau di sebuah coffee shop, atau melihat sesama muslimah yang pilih-pilih pernak pernik di sebuah butik jilbab dan kerudung. Sentimentil banget, ya?

Anyway, sore itu aku pulang kuliah, aku melihat sebuah kedai yang sepertinya baru. Kedai itu berpapan nama, Pie and Pizza, dengan tulisan kecil di bawahnya, “Whatever you like, pie or pizza, we serve it Halal.” Tulisan itu memang cukup menarik perhatianku, tapi sangat sebentar, karena ketika aku berjalan melewati kedai itu, melihat menembus jendela kaca, hanya sekedar memindai kegiatan orang-orang di dalamnya, lalu aku melihat dia…. Ari Sulaiman Sofyan, tengah duduk di sebuah meja, berkacamata hitam, menghadap sebuah laptop yang tengah menyala. Aku tertegun seketika, aku berhenti berjalan dan menatapnya. Sempat aku bertanya-tanya, benarkah siapa yang aku lihat itu? Yang aku tahu dia buta, ya, kan? Lalu kenapa dia bisa duduk menghadap layar laptop jika tidak bisa melihat? Tapi….

Di-dia memang buta…. Dia tidak melihat layar laptop itu! Dia hanya membiarkan jemarinya menari di atas keyboard yang jelas sekali telah dia kenal posisi tiap tuts-nya. Aku terkesima…. Aku terdiam cukup lama, sampai kemudian kesadaranku menepuk kepalaku dan berkata kalau aku bertingkah seperti orang bodoh. Aku lanjutkan langkahku, tapi…. Kamu bisa mengerti kan kalau langkahku kini melambat, dan nalarku mempertimbangkan alasan terbaik untuk memasuki kedai itu dan menghampirinya? Mungkin aku akan memperkenalkan diriku, atau… atau meminta tanda tangannya….

Masya Allah…, aku berdebar-debar! Seiring aku meramu skenario untuk menjumpainya, keraguan mulai merayap dan mencengkram dadaku. Bagaimana kalau dia itu orangnya ketus? Bagaimana kalau dia itu nggak sebaik yang aku sangka? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mendorong-dorong langkahku untuk tetap lurus kearah rumah, tapi…. Kemudian nasihat Papa berdering di kepalaku.

“Hit hard…. Shoot to kill…,” bisikku setengah menggeram. Lalu aku putar arah langkahku. Aku masuki kedai itu, tapi aku tidak menghampiri sang penulis. Dengan langkah konstan aku hampiri counter meski mataku tetap terpaku pada sosok tunanetra itu. Di counter aku disambut seorang muslimah berkacamata dan berjilbab lebar dengan corak unik yang menjadi seragam pramusaji kedai ini.

“Pesan apa, Teh?” tanya sang pramusaji ramah.

“Maaf, mau tanya, apa pria yang di sana itu Ari Sulaiman Sofyan?” tanyaku setengah berbisik seraya menunjuk ke meja yang aku maksud.

“Siapa?”

“Ari Sulaiman Sofyan,” jawabku seraya merogoh tas, mengeluarkan novel “Raven Colony”, dan memperlihatkan sampul belakangnya yang terdapat foto sang penulis kepada pramusaji itu. “Yang menulis novel ini.”

“Oh, benar juga,” tanggap sang pramusaji meski tampak tidak terlalu terkesan dan itu membuatku sedikit kecewa. Pramusaji itu mungkin tidak suka novel. “Apa ceritanya bagus?”

“Brilian.”

“Fans-nya, ya?” Wajahku terasa sedikit memanas. “Bisa dibilang begitu.”

“Bisa minta tanda tangan, dong?”

Aku terdiam sejenak. Aku perhatikan sang penulis itu, lalu kemudian berkata, “Sepertinya dia lagi sibuk, ya? Mungkin lain kali saja.”

Pramusaji itu tersenyum. “Ada lagi yang bisa saya bantu, Teh?”

“Oh, ya! Saya pesan… ada pizza yang kejunya ekstra?”

“Oh, ya, rekomendasi saya ini.” Pramusaji itu menekan display sentuh di sampingnya dan menunjukkan gambar dan nama satu nampan pizza.

Aku pesan pizza itu tanpa berpikir lagi; aku pesan pizza itu untuk dibawa pulang. Papa pasti suka pizza itu. Aku sendiri… tidak menyentuhnya. Bukannya aku tidak suka pizza, tapi…. Entahlah…. Sejak dari kedai itu, debar di dadaku sepertinya tidak mau berhenti….

Masya Allah…, apa yang tengah aku rasakan ini sebenarnya?

Keesokan harinya, debar itu masih aku rasakan; debar yang terangkum utuh dalam harapan, “Apa nanti sore dia bakal ada lagi di kedai itu?” Hanya saja, debar itu terpasung oleh sebuah tantangan, “Memangnya kalau dia ada, kamu bakal berani menghampirinya dan minta tanda tangannya?” Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku setiap menghadapi itu. But still…, debar itu tetap ada, dan semakin menyesakkan… 

Dan, ya… sore itu juga aku melihatnya lagi di kedai itu…, di meja yang sama…, masih menulis seperti kemarin…. Aku tahu aku bisa menghampirinya dan meminta tanda tangannya; tidak ada yang salah dengan itu, kan? Itu merupakan bentuk apresiasiku terhadap karyanya, kan? Jelas tidak ada yang salah dengan itu! Tapi….

Aku masuki kedai itu. Aku hampiri counter sambil sesekali melirik penulis itu. Pramusaji yang sama yang menyambutku. Dia tersenyum.

“Pesan apa, Teh? Atau… mau ngecengin penulis pujaannya?”

Aku sempat gelagapan, tapi segera kukuasai diri dan berkata, “M-mau coba pie-nya.”

Dia tersenyum makin lebar. “Oh, kalau begitu, ini pilihan pie yang ada. Maaf, untuk pie buah kiwi kami kehabisan persediaan.”

Aku pesan pie apel dan strawberi milkshake, tapi kali ini tidak aku bawa pulang. Aku pilih salah satu meja yang sebenarnya relatif jauh dari Ari S. Sofyan, tapi punya sudut pandang yang jelas. Aku bisa memperhatikannya tanpa terhalang apapun.

Aku nikmati pie apel itu sambil membuka-buka buku catatan kuliah sepanjang hari tadi, dan sambil sesekali memperhatikan Ari S. Sofyan. Menyedihkan, bukan? Aku tahu aku bisa menghampirinya, meminta tanda tangan, mengajukan beberapa pertanyaan atau semacamnya, tapi… tapi selanjutnya apa? Ya…, apa selanjutnya? Harus aku akui saat mendapati pertanyaan itu, ada dorongan hasrat yang… yang mengatakan kalau aku ingin lebih…. Lebih dari sekedar tanda tangannya, lebih dari sekedar tanya-jawab….

Aku mendesah. Apa-apaan aku ini? Apa yang salah denganku? Tapi kemudian aku menggeleng-geleng kepala, aku alihkan perhatianku sejenak pada Kalkulus dan Geometri Analitis di depanku. Kamu tahu? Aku berpaling hanya satu atau dua menit, tapi ketika aku melirik kembali meja itu, aku tidak lagi melihat Ari S. Sofyan. Ke-kemana dia?!

Dengan cepat aku lempar pandanganku ke pintu kedai, tapi dia tidak ada di sana. Dengan cepat aku beranjak dan setengah berlari mencapai pintu itu dan keluar. Aku lihat kiri-kanan, memindai pesisir boulevard, mencari sosok buta sang penulis. Dia tidak ada di mana-mana. Masa sih dia bisa bergerak cepat! 

“Cari siapa, Teh?”

Aku melompat kaget. Pramusaji yang tadi telah berada di belakangku.

“Oh-uhm, tidak, tidak apa-apa,” jawabku.

“Cari penulis itu, ya?” Dia tersenyum nakal.

“Umm…, kamu lihat ke arah mana dia pergi?”

Kulihat sorot mata di balik kacamata pramusaji itu berubah menyelidik, tapi senyumnya masih tersungging. Lalu dia berkata, “Ngefans, atau naksir, nih?”

Kamu tahu? Seandainya saja atas kepalaku disiram air, mungkin akan segera menguap karena mendadak mukaku terasa panas. Aku diam tertegun.

“Duh, mukanya merah tuh,” goda pramusaji itu. “Aku jadi penasaran, bagaimana cerita novel itu sampai kamu bisa kesengsem seperti itu.”

Aku terdiam. Aku gigit bibir bawahku.

“Boleh aku pinjam novelnya?” tanya pramusaji itu.

“Oh-uhm, y-ya, ya…, tentu….” Aku masuk kembali ke dalam kedai dan pramusaji itu mengikuti aku. Aku ambil novel “Raven Colony” dari tas dan menyerahkannya.

“Hmm, mungkin aku bisa bantu minta tanda tangannya buat kamu,” kata pramusaji itu.

“Jangan!” pekik aku yang terus terang tidak sepenuhnya aku sadari.

“Eh, kenapa?”

Aku tertegun. Aku tidak bisa menjawab.

“Oh, mungkin kamu mau melakukannya sendiri, ya? Nggak apa-apa,” ucap si pramusaji menanggapi diamku.

“Ehmm, besok lusa ada… ada jumpa fans-nya di Pameran Buku, di jalan Braga. Aku rasa itu saat yang tepat,” kataku meski terkesan agak memaksakan diri.

“O’ya? Bagus deh, kalo gitu. Tapi masih boleh pinjam, kan? Aku lumayan pembaca yang cepat. Besok juga beres.”

Aku hanya mengangguk. Kemudian dia berterima kasih dan meminta diri untuk kembali bekerja, dan akupun membereskan buku catatan dan tasku lalu aku pulang. Keesokan harinya aku tidak melihat Ari S. Sofyan di kedai itu, tapi aku masuki kedai itu. Aku hendak menagih novelku ke pramusaji itu. Sempat aku bertanya-tanya kemana gerangan Ari S. Sofyan, tapi aku hanya bisa berasumsi kalau dia mungkin bersiap-siap untuk pameran besok. Anyway, aku hampiri counter tapi aku tidak segera disambut oleh pramusaji itu. Aku lihat pramusaji itu berdiri di depan sebuah pintu yang tengah terbuka, dan dia tidak sendiri. Dia tengah berbicara dengan seorang pria berpakaian tipikal seorang koki. Dia sempat melihat aku dan sempat memberi aku isyarat untuk menunggu. Sebentar kemudian pria itu membebaskannya dan membiarkan pramusaji itu menghampiriku.

“Sori membuat kamu nunggu. Dilematis juga kalau punya boss yang merangkap jadi suami,” katanya seraya menghela nafas panjang. “Kamu mau ngambil novel kamu, ya? Tapi, bisa nunggu sebentar, kan? Kamu boleh pesan apa aja. It’s on the house.”

Aku sempat menolak tawarannya, tapi dia memaksa dan membuatku memesan segelas strawberry milkshake. Aku duduk di salah satu meja dan menunggu. Aku menunggu tidak terlalu lama. Pramusaji itu datang dan mengembalikan novelku seraya duduk di hadapanku.

“Kayaknya layak buat dibeli, ya?” katanya.

Aku tersenyum. “Sangat,” tanggapku.

“Tapi…, mungkin gara-gara aku sudah tahu pengarangnya buta, ya, kalau aku jadi…, gimana, ya? …Beranggapan kalau tokoh utamanya itu sebenarnya dirinya sendiri, meski beda jenis kelamin—maksudku, sikap plin-plannya, naifnya, sebenarnya berasal dari dirinya sendiri yang… yang berasal dari perasaan insecurity…, perasaan nggak aman akibat… keterbatasan dirinya….”  

Aku tercenung sesaat. “Ya…, aku setuju. Tapi masalahnya, dia berhasil menuliskannya. Aku melihat novel ini jadi… jadi semacam inner struggle…, perang batin dirinya yang berusaha untuk tidak takluk pada… keterbatasannya, pada perasaan insecurity-nya…. Dan dia berhasil! Novel ini buktinya…. Novel ini adalah pialanya….”

“Wow, itu nggak pernah terpikir olehku,” tanggap si pramusaji kagum.

“Menurutku sendiri, tokoh utamanya itu… seperti aku,” lanjutku. “Kamu lihat sendiri, kan? Aku nggak punya keterbatasan apa-apa, tapi… minta tanda tangan-nya saja nggak bisa…. Padahal aku tinggal mendatanginya, ya, kan?  Tapi….”

“Tapi kamu ingin lebih dari sekedar tanda tangannya, ya?”sambung pramusaji itu dengan suara yang lembut.

Aku mendengus lemah. “Entahlah,” jawabku seraya berpaling sejenak ke jendela. “Aku hanya ingin tahu bagaimana dia bisa menuliskannya…. Bagaimana dia bisa mengambil tokoh yang… yang seolah-olah menjiplak aku…, tapi nggak sampai di situ, dia juga seolah-olah mengkonfrontasi aku; ba-bagaimana kalau seandainya aku dihadapkan dengan pilihan yang-yang menyangkut orang banyak, menyangkut hidup-mati orang yang kita sayangi? Dia juga menunjukan sebuah konsep dimana ketika kita memutuskan sebuah pilihan, kita juga ‘membunuh’ pilihan yang lainnya, yang justru itu meng-emphasize argumen kalau ‘tidak memilih’ juga merupakan pilihan yang… yang akan meng-annihilate pilihan yang ada. Dan… dan dia berhasil menyelesaikan novelnya…, tersimpulkan secara utuh…. Sementara aku…, aku merasa tertinggal…, nggak seperti sang heroine dalam novelnya, aku masih plin-plan… masih punya krisis percaya diri…. Seandainya yang kamu bilang itu benar, kalau dia memang punya perasaan insecurity yang akut, dengan terbitnya novel ini, berarti dia sudah melampauinya…. Aku… aku hanya ingin… sedikit nasihat darinya…, itu saja aku rasa.”

Kulihat pramusaji itu tersenyum lembut. “Kamu jatuh hati sama dia, ya?” Aku mendengus, dan terus terang aku hendak menyangkalnya, tapi… bagaimana aku bisa menyangkal sesuatu yang sudah jelas. Aku diam…, hanya bisa diam dan merunduk.

Aku menengadah ketika aku rasakan punggung tanganku di tepuk pramusaji itu. Dia tersenyum. “Kamu tahu? Memang kadang sebuah pilihan bisa membawa kita kepada rasa sakit, entah itu sakit hati atau apalah. Tapi kamu tahu? Seorang Yunani pernah bilang,

‘Imbalan dari rasa sakit adalah pengalaman.’”

“Aeschylus, penulis drama jaman Yunani kuno,” timpalku.

“Tuh, kamu lebih berwawasan daripada aku. Nasihatku jadi kurang bermakna, ya?”

Aku tersenyum. “Bagaimanapun aku berterima kasih.”

“Sama-sama. Oh, sori. Aku mesti kembali kerja. Good luck buat besok, ya?” Sepeninggal pramusaji itu, aku menghela nafas panjang. Memangnya apa yang bisa aku lakukan besok? pikirku. Pertanyaan itu menggaung dalam kepalaku tanpa mampu aku jawab.

Keesokan harinya aku sudah berniat bolos kuliah, tapi… aku tidak bisa. Jangan tanya alasannya, tapi aku bisa bilang kalau itu karena aku… nggak punya skill persuasif yang baik…, aku bukan pembohong yang lihai. Alhasil, aku terlambat ke jumpa fans itu; tidak hanya itu, di tengah perjalanan hujan turun deras. Aku sampai di pameran buku itu kebasahan—tidak basah kuyup, tapi cukup basah untuk menghindari berdesak-desakan. Tapi, semua itu bukan yang terburuk. Ketika aku sampai di jumpa fans itu, para hadirin tengah bertepuk tangan lalu diikuti MC yang berkata, “Mungkin satu lagi pertanyaan, ya, Kang Ari?”

Kulihat Ari S. Sofyan tengah duduk di atas panggung dan dia mengangguk.

Demi Allah, seharusnya aku bisa mengambil kesempatan itu! Seharusnya aku bisa dengan agresif mengacungkan tangan dan bertanya langsung, tapi… tapi aku malah membiarkan seorang siswa SMP berdiri dan bertanya, “Nama saya Siti, dari SMPN 10, saya mau tanya, apa ada tips-tips buat menulis dengan baik—maksudnya supaya bisa lebih pede nulis? Gitu aja. Terima kasih.”

Kulihat Ari S. Sofyan terdiam sejenak. “Ini pertanyaan terakhir, ya? Terus terang, saya pikir akan ada yang bertanya, bagaimana saya bisa jadi buta? Sebelum menjawab pertanyaan Rayi Siti, ada baiknya saya ceritakan itu dulu. Saya buta karena kecelakaan. Kejadiannya nggak jauh dari sini. Di sebelah selatan Braga; di sana ada banyak bangunan jaman Belanda, ya, kan? Waktu itu jam sepuluh pagi, saya lagi pakai motor, lumayan cepat. Terus tiba-tiba saya lihat ada semacam pemotretan di depan sebuah gedung tua. Saya lihat ada modelnya, seorang perempuan… bisa dibilang nyaris nggak pakai apa-apa. Saya melihat cuma sedetik, tapi akibatnya sangat fatal. Roda depan masuk lubang, saya terlempar hingga muka saya membentur kaca spion mobil yang tengah terparkir. Kedua mata saya robek.”

Ari S. Sofyan kemudian diam. Forum Jumpa Fans ini mendadak terasa hening.

“Dari diamnya Anda sekalian, saya berasumsi Anda menganggap cerita saya benar,” kata Ari S. Sofyan. “Sebenarnya nggak. Itu nggak benar. Saya berbohong.”

Terdengar beberapa tawa kecil dari para hadirin.

“Anda mungkin sekarang berpikir, ‘Dasar penulis fiksi!’ Tapi terus terang, apa karena saya penulis fiksi saya berhak untuk berbohong? Novel yang saya tulis jelas tidak nyata, jadi apa saya sebenarnya pembohong? Jadi…, tips pertama saya, bedakan dulu apa kamu itu penulis fiksi atau pembohong. Bedanya cukup jelas, bukan? Pembohong itu mengatakan sesuatu yang nggak benar supaya dianggap benar untuk tujuan tertentu, setuju, kan? Sementara penulis fiksi…, yah, terus terang saya lebih menganggap diri saya sebagai human analist, saya reka beberapa karakter manusia, saya simpan di semacam wadah rekaan seperti Raven Colony, lalu saya lihat apa yang akan terjadi. Dan novel saya itu adalah semacam laporan saya; dan alhamdulillah, dari apresiasi Anda sekalian, saya bisa menganggap laporan saya cukup baik, dan insya Allah, ada hikmahnya.

“Lalu soal pede, terus terang, saya menulis bukan karena percaya diri. Terus terang, saya nggak percaya sama diri saya sendiri. Baru saja saya berbohong, kan? Terus apa yang bisa dipercaya dari diri saya kalau saya punya potensi untuk berbohong? Mungkin sekarang kamu akan bertanya, ‘Terus percaya sama siapa, dong?’ Well, kenapa nggak percaya sama yang Nggak Pernah Berbohong? Kenapa nggak percaya sama yang menciptakan kita, yang menciptakan lima miliar manusia dengan ceritanya masing-masing, dan tiap ceritanya adalah nyata? Dan ini menjadi premis untuk tips saya yang kedua; berdoa. Ya, sering-sering berdoa. Saya pikir berdoa bukan hanya untuk dikabulkan oleh Allah, tapi untuk mendefinisikan apa yang sebenarnya kita inginkan; kalau nulis, apa yang sebenarnya ingin kita tulis. Tidak hanya itu, berdoa juga melatih kita merangkai kata-kata, ya, kan?

“Mungkin hanya itu, tapi sebelum acara ini berakhir, saya ingin menyampaikan ini. Terus terang, sebenarnya saya tidak berhak mendapatkan apresiasi Anda. Anda lihat sendiri, saya buta. Memang saya sudah hafal benar letak tuts keyboard, tapi kesalahan selalu saja ada, dan saya tidak bisa memperbaikinya jika tidak ada kakak saya, Annida Bilqis Sofyan. Sayangnya dia tidak bisa hadir di sini….”

Kata-kata Ari S. Sofyan selanjutnya meredup dari perhatianku. Aku merunduk, tapi benakku penuh dengan… dengan sensasi. Sensasi yang… seolah-olah “tips menulis” Ari S. Sofyan itu membuka sebuah tabir yang menghalangi aku dari cahaya matahari. Aku ingin nasihatnya, dan aku mendapatkannya.

Berdoa….

Kenapa itu tidak terpikir olehku? Kenapa aku tidak berdoa saja kepada Dia yang menciptakan aku, yang mengkondisikan aku menjadi seperti ini supaya aku bisa… bisa melampaui… keterbatasanku?

Aku gigit bibir bawahku, lalu kembali memperhatikan Ari S. Sofyan, tapi dia sudah tidak ada kecuali MC yang tengah menutup acara. Aku tidak bisa apa-apa selain pulang.

Tapi aku tidak ingin segera pulang. Aku merasa gamang. Aku merasa ada sesuatu yang belum lengkap…, sesuatu yang belum conclude. Aku merasa mungkin… mungkin perasaan itu akan hilang kalau aku berhasil minta tanda tangannya, tapi sepertinya kesempatan itu telah hilang… setidaknya untuk hari ini…. Dan hari pun semakin sore.

Di luar hujan masih turun, tapi tidak sederas sebelumnya. Aku berdiri agak dekat dengan pinggir jalan, tapi terlindung dari hujan oleh lantai dua gedung pameran. Mungkin aku terlihat seperti orang yang tengah menunggu hujan reda, dan memang ada benarnya juga, tapi saat itu sebenarnya benakku tengah mereka-reka doa….

Ya Allah, Dzat Yang menurunkan hujan ini, curahkan kepadaku cahaya-Mu…, aku mohon…. Jangan biarkan aku terombang-ambing dalam keraguan…. Aku percaya Engkau ciptakan aku dengan kondisi yang menurut-Mu terbaik untuk diriku…, karenanya aku mohon…, mudahkan aku dalam… segala urusanku…, karena sungguh tiada yang mudah kecuali Engkau mudahkan…, dan tiada yang sulit menjadi mudah, kecuali Engkau mudahkan….

Diantara beberapa doa yang aku susun, mungkin itulah yang paling menyentuh batinku, dan tidak hanya itu, efek selanjutnya benar-benar mengejutkan.

Aku ingat saat batinku merapal doa itu, aku tengah menatap hujan. Terus terang saat itu perasaanku sedikit gamang, mungkin bisa dibilang setengah melamun, tapi aku bisa merasakan ketulusan dari doaku itu. Lalu tiba-tiba aku rasakan kehadiran seseorang di samping kananku. Aku meliriknya dan seketika nafasku serasa tercekat.

“Ari Sulaiman Sofyan,” gumamku tanpa sepenuhnya aku sadari.

“Ya?” Tanpa aku sangka dia merespon gumamanku itu.

Gelagapan aku berusaha merespon, “Maaf, ehm, bisakah ehmm Anda menandatangani novel saya—maksud saya, novel Anda… yang-yang saya beli—maksud saya….”

Dia tersenyum. “Ya, tentu. Tapi…, sepertinya suara kamu kedengaran familiar, deh. Nama kamu siapa, ya?”

Aku sebut namaku seraya menyerahkan novelku.

Lalu tiba-tiba aku lihat sebuah mobil berhenti di depan kami. Dari sisi kabin pengemudi aku melihat sosok berpayung keluar dan berjalan cepat menghampiri kami.

“Sori. Sori. Aku telat. Aku telat,” ucap sosok itu seraya menutup payung. Lalu aku lihat sosok yang aku kenali.

Pra-pramusaji itu!

Kulihat dia sempat terkejut melihatku, tapi kemudian tersenyum lebar.

“Oh, Nid, ini perkenalkan,” ucap Ari S. Sofyan. “Erinna.”

“Ya, kami sudah saling kenal,” jawab pramusaji itu. “Tapi kami belum sempat bertukar nama, ya?” Dia menjulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Annida, kakaknya dia.”

Dengan perasaan yang nggak menentu aku menyambut tangannya.

“Sori, aku nggak sepenuhnya berterus terang. Maklumlah dia adik satu-satunya. Aku jadi agak overprotective.”

“Apa sih yang kamu bicarakan?” tanya Ari S. Sofyan.

“Bukan apa-apa. Ayo Erin, kita pulang sama-sama.”

“Oh-eh, sebaiknya saya naik bis saja,” tanggapku.

“Oh, jangan konyol! Kita tinggal satu kompleks!” seru dia seraya menarik tanganku, membuka payung, menggandeng adiknya lalu menyeret kami ke mobilnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biografi Kepenulisan Blogger

Komunitas Guru Menulis Komunitas bagi para guru/dosen yang se...