Senin, 17 Desember 2012

Catatan Hati Bunda

Catatan Hati Bunda



Terima kasih telah berkenan membuka lembaran buku ini. Sebuah risalah dari keluarga sederhana. Isinya merupakan rekaman hari-hari yang saya jalani sebagai Ibu dari dua anak. Ada juga beberapa catatan dari Ayah. Kebahagiaan, kesedihan, kecemasan, kegamangan, ‘kepanikan’ bahkan kekurangan kami sebagai orang tua, khususnya saya sebagai bunda terabadikan di sini.

Sebagai pasangan muda, bisa dibilang kami memulai segalanya dengan sangat sederhana. Apa yang dialami kebanyakan pasangan di tanah air, lebih kurang mungkin kami rasakan juga. Baik saya dan suami berasal dari keluarga sederhana. Ketika menikah, Bang Isa masih belum selesai kuliah, dan bekerja paruh waktu di sebuah lembaga kebudayaan asing.

Dalam upaya mandiri, kami sempat tinggal di sebuah rumah sederhana milik keluarga, sebelum kemudian mengontrak dari rumah mungil yang satu ke rumah mungil lain.

Kami mengalami kepanikan saat anak pertama hadir, sementara biaya rumah sakit yang diperkirakan tertutupi ternyata masih jauh dari cukup.

Kami melalui juga ‘bisnis’ simpan pinjaman (bukan simpan pinjam J) bertahun-tahun. Saya masih mengingat hari-hari menunggu juru taksir perhiasan di pegadaian mengira-ira berapa uang yang bisa dipinjamkannya kepada saya berdasarkan cincin atau gelang anak (maaf ya, Ca), yang kami gadaikan.

Tetapi dalam keadaan begitu, seingat saya … kami santai-santai saja. Masih bisa bercanda, seperti jika saya baru pulang dari pegadaian,

“Dari mana, Bunda?”

“Biasa, Ayah … dari ‘sekolahan’.”

Kalimat yang disambut senyum Bang Isa,

“Kasihan Bunda, dari sekolahan bertahun-tahun, masih belum lulus juga.”

Saya tidak melupakan hari-hari itu, tetapi keresahan karena beban ekonomi luntur karena kebersamaan dengan anak-anak.

Kehadiran Caca dan Adam, sungguh karunia luar biasa. Hari-hari membesarkan anak-anak merupakan ‘sekolah’ bagi saya, sekaligus hiburan. Dan sejauh ini apa yang saya harapkan ada pada anak-anak, alhamdulillah Allah berikan. Karenanya hal-hal lain yang tidak sempurna, kami jalani dengan lebih ringan.

Caca dan Adam yang sering sakit ketika kecil, bahkan hanya karena hal-hal sepele. Jangankan permen atau cokelat, makan rambutan satu biji, bisa membuat kami harus membawa mereka bolak balik ke dokter. Berenang sekalipun hanya sebentar bisa berujung sakit serius.

Tetapi kondisi itu memberi semangat bagi saya untuk berusaha menjaga anak-anak sebaik mungkin. Kadang-kadang agak paranoid, saking kekhawatiran saya yang besar jika terjadi apa-apa terhadap mereka.

Karena anak-anak mudah sakit, saya rajin menggantikan baju mereka, agar tidak berlama-lama dengan baju yang basah keringat.

Karena mereka sering sakit, saya menjaga betul agar mereka tidak terbiasa makan snack yang tidak sehat, atau minum-minuman bersoda.

Karena mereka sering sakit, kami rajin memvakum mainan, kasur, dan ruangan agar tidak berdebu.

Kondisi itu memaksa saya pada situasi tertentu harus bersikap tegas terhadap anak-anak, sekalipun sebagai ibu saya jauh dari tipe ibunda yang anggun dan penuh kelembutan atau yang biasanya terlihat pantas dihormati J. Sebab saya lebih suka memposisikan diri sebagai teman yang menyenangkan ketika diajak bermain. Yang mungkin saja melakukan kesalahan dan karenanya tidak perlu malu meminta maaf.

Tetapi saya belajar, bahwa ketegasan itu tidak perlu ditegakkan dengan kemarahan, dengan main tangan, atau dengan suara galak. Ketegasan adalah perpaduan dari penerapan reward dan bukan hanya ‘punishment’, serta sikap konsisten terhadap segala sesuatu.

Saya kira anak-anak juga belajar dari cara orang tua memperlakukan mereka. Wajah-wajah mungil itu diam-diam mengamati, melakukan analisa, kemudian membuat coret-coret di benak mereka, bagaimana mereka harus bersikap kemudian, khususnya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan J.

Saya mencintai anak-anak. Mereka telah memberikan banyak kebahagiaan, dan melepaskan saya dari hati yang pengap, ketika ujian-ujian lain dalam hidup menghampiri. Dan betapa lengkap rasanya bahagia itu, ketika mendapati ekspresi-ekpresi cinta dari keduanya.

Dengan semua kebahagiaan itu, rasanya saya tidak pantas mengeluh karena hal-hal lain. Juga untuk kondisi ekonomi yang bertahun-tahun cukup minim.

Melewati antrian panjang di ATM dan menemukan saldo rekening yang bahkan tidak mencapai sebelas ribu.

Tivi hitam putih yang harus digebrak berkali-kali agar menyala.

Bolak-balik ke ‘sekolahan’ sebelum kemudian harus kehilangan perhiasan yang saya miliki ketika gadis, karena tidak mampu menebus cicilan.

Hari-hari panjang menemani Caca ataupun Adam ketika mereka berobat jalan, bahkan menginap di rumah sakit.

Saya tidak bisa mengeluh, karena saya tahu masih banyak ibu yang melalui situasi yang jauh lebih buruk dari yang saya alami.

Biarpun kecil dan penuh serangga yang membuat kulit bercak-bercak merah, saking tuanya kontrakan kami, setidaknya saya dan anak-anak masih punya tempat berteduh.

Biarpun hanya makan sederhana, nasi dan sayur, jatah telur atau ayam hanya untuk anak-anak, tetapi alhamdulillah kami masih bisa makan tiga kali sehari.

Biarpun melalui masa mengepit map dan masuk satu kantor ke kantor lain, bersama suami dalam usaha mencari pekerjaan, hingga kerongkongan yang kering harus bersabar, sebab di genggaman saya hanya tersisa sedikit uang, cukup untuk membayar ongkos bis pulang.

Tetapi Allah berikan saya begitu banyak nikmat-Nya.

Ayah bagi anak-anak saya, yang ulet bekerja untuk memberikan yang terbaik bagi istri dan anak-anaknya.

Dua permata hati yang berlomba-lomba memberi kebanggaan pada orang tua mereka. Yang rajin membuat lukisan dan coretan penuh kata-kata cinta untuk bundanya.

Soal bolak-balik ke rumah sakit, setidaknya kondisi kami lebih baik ketika itu dibandingkan Mami yang hampir setiap hari membawa saya berobat ke RSCM sejak saya berumur tujuh tahun sampai usia saya menginjak tujuh belas tahun, dalam kondisi ekonomi yang lebih payah.

Allah, saya tahu saya tak pantas mengeluh.

Pun tidak ketika beberapa ujian-Mu menghampiri.

Saya tahu bersama kesulitan ada kemudahan. Sehingga ketika satu ujian terasa mencekik leher saya, saya hanya harus bersabar dan berdoa … sambil mencoba melihat kemudahan yang sebetulnya menyertai. Dan ketika saya tidak bisa melihat, saya akan mencoba membuka mata lebih lebar, tetap dengan keyakinan … kemudahan itu ada dan Allah iringkan ketika memberi kita ujian-Nya, kalau belum terlihat, mungkin mata kita yang masih tertutup.

Tiga belas tahun usia keluarga kecil kami.

Masih muda dan masih harus banyak belajar, tentang cinta dan menghargai anugerah. Tentang hidup yang begitu layak disambut dengan syukur dan suka cita. Tentang upaya membahagiakan.

Semoga Catatan Hati sederhana ini, bisa menjadi kado kecil yang bermanfaat bagi pembacanya. Allahumma, amin .…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biografi Kepenulisan Blogger

Komunitas Guru Menulis Komunitas bagi para guru/dosen yang se...