Rabu, 05 Desember 2012

Novel Pertama Dunia

SEBUAH buku klasik, tak ubahnya musik klasik, perlu ditampilkan ulang dengan sentuhan berbeda agar terus dapat diapresiasi generasi yang baru. Penggemar sonata Beethoven akan selalu tertarik untuk mendengarkan rekaman dan pertunjukan barunya karena tidak ada satu versi yang definitif untuk musik tersebut. Sebuah karya klasik memiliki potensi itu karena di dalamnya terdapat ruang yang luas untuk banyak interpretasi dan sudut pandang. Tidak mengherankan jika karya klasik Shakespeare terus dapat ditampilkan dan dipertunjukkan dalam berbagai versi modern. Sastra klasik Jepang memiliki karya yang sering disetarakan dengan Shakespeare, yaitu sebuah novel abad kesebelas yang berjudul Genji Monogatari (Kisah Genji).
Genji Monogatari adalah salah satu buku tertua dan paling masyhur dalam khazanah sastra klasik Jepang. Buku ini, yang dinobatkan Unesco sebagai novel pertama dunia, berkisah tentang pangeran Hikaru dari klan Genji dan petualangannya di istana kerajaan, keterlibatannya dalam serangkaian percintaan, pengkhianatan serta pengucilan politis. Di antara buku-buku klasik Jepang, Genji Monogatari termasuk karya yang sulit dibaca, bukan hanya lantaran panjangnya yang mencapai 750.000 kata tetapi juga karena ditulis dalam citarasa bahasa yang kuno.
Novel ini lahir dari tangan Murasaki Shikibu, seorang wanita yang tinggal di istana kerajaan Heian (795-1192) di Kyoto. Dibesarkan di tengah keluarga gubernur Fujiwara, Murasaki tumbuh sebagai anak yang pintar dan belajar lebih cepat dibanding saudara laki-lakinya. Orangtuanya mengizinkan Murasaki mempelajari bahasa Cina yang dipandang tidak pantas bagi perempuan di masa itu. Murasaki dapat membaca literatur Cina yang masuk ke Jepang pada abad kesebelas dan mengasah kemampuan menulisnya dengan latar budaya Cina. Setelah suaminya meninggal pada 1001, keluarga kerajaan memanggil Murasaki untuk tinggal di istana lantaran bakat menulis dan otaknya yang cemerlang. Di sinilah Murasaki mulai menulis diari tentang kehidupan di istana yang mempengaruhi  penulisan novelnya.
Pada akhir abad kedua puluh yang lalu Genji Monogatari kembali muncul dalam daftar buku terlaris di Jepang. Seorang pendeta dan novelis wanita dari Kyoto bernama Setouchi Jakucho mencoba menulis ulang buku tersebut ke dalam bahasa Jepang modern dan memberi tafsiran baru terhadap tindakan seksual tokoh-tokohnya. Terjemahan modern ini terbit pada tahun 1999 dalam bentuk sepuluh jilid buku yang mendapat sambutan luas dan memicu ledakan popularitas novel klasik ini di tengah masyarakat Jepang.
Yang dilakukan Setouchi adalah penyederhanaan gaya bahasa Murasaki dan mengubah novel itu menjadi sebuah bacaan ringan yang dapat dinikmati oleh segala lapisan usia. Genji versi baru ini menjadi sangat populer terutama di kalangan pembaca perempuan dan terjual lebih dari dua juta eksemplar dalam tahun pertama penerbitannya. Sebuah drama kabuki lantas mengadaptasi kisah Genji modern versi Setouchi ini ke dalam pertunjukan yang dipentaskan di teater Kabukiza Tokyo pada Mei 2000.
Setouchi memang bukan orang pertama yang mengupayakan versi modern karya klasik berusia satu milenium ini. Pelopor penyediaan terjemahan modern atas karya ini adalah Yosano Akiko (1878-1942), seorang penyair dan esais yang terlibat dalam gerakan pembebasan perempuan Jepang. Karya Yosano Akiko terbit dalam rentang tahun 1912 hingga 1914. Dalam abad-abad  sebelumnya karya Murasaki sering dikutip dan mendapat tempat terhormat dalam perbincangan sastra Jepang namun baru di awal abad kedua puluh ada upaya untuk menjadikannya bacaan yang dapat dinikmati di luar lingkaran akademis yang pekat.
Beberapa tokoh sastrawan Jepang abad kedua puluh lain juga telah mengupayakan terjemahan modern Kisah Genji. Penulis cerpen dan novelis Tanizaki Junichiro mengupayakan tiga versi Genji modern pada 1938, 1949 dan 1964. Versi tahun 1938 dilarang beredar oleh pemerintahan militer karena memuat kisah hubungan gelap Genji dengan ibu angkatnya Fujitsubo, versi tahun 1949 mencoba menampilkan Genji dalam tatabahasa kuno yang setia pada buku aslinya, dan versi yang terakhir tampil dalam bahasa sastra Jepang modern.
Novelis Enchi Fumiko menulis ulang novel tersebut pada 1971 dengan memberi deskripsi yang lebih mendetail pada adegan-adegan percintaan dibanding yang diuraikan Murasaki. Komikus Yamato Waki membuat versi komik dari kisah Genji dengan judul Asaki yume mishi (Impian sesaat). Komik yang terdiri dari 13 jilid ini telah terjual sebanyak 17 juta kopi sejak terbitnya pertama kali pada 1980 dan pernah diadaptasi ke dalam pertunjukan drama yang dimainkan oleh opera Takarazuka Kageki. Terjemahan yang paling serius diupayakan oleh Hashimoto Osamu pada 1995 dengan memberikan banyak catatan kaki. Berbagai versi terjemahan modern ini masih beredar di pasaran, namun di antara seluruhnya hasil kerja Setouchi adalah yang mendapat sambutan paling baik dari publik pembaca Jepang dan mengantarkan karya klasik itu ke tengah pembicaraan masyarakat awam.
Dunia di luar Jepang mengenal Genji Monogatari melalui terjemahan Inggris yang dilakukan pertama kali oleh Arthur Waley. Edisi Waley terdiri dari enam jilid buku yang terbit antara tahun 1925 hingga 1933. Meski sering dikritik sebagai tidak akurat dan terlalu memanipulasi teks aslinya, namun berdasarkan edisi Waley inilah kisah Genji dikenal dunia dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Genji dalam bahasa Jerman digarap oleh Oscar Benl pada 1966 dan dalam bahasa Perancis oleh Rene Seiffert pada 1978-88. Novel ini juga sudah dialihkan ke bahasa Rusia, Korea, Cina, Ceko, Italia dan Finlandia. Terjemahan bahasa Inggris yang lengkap dan lebih hati-hati dibanding sebelumnya dilakukan lagi oleh Edward Seidensticker pada 1976.
Pada tahun 2001 terjemahan Inggris yang ketiga atas novel tertua dunia ini diterbitkan oleh Viking Penguin. Hasil kerja Royall Tyler, seorang profesor bahasa dan sastra Jepang di Australian National University, ini muncul dalam bentuk dua jilid buku dengan ketebalan total lebih dari seribu halaman. Terjemahan ini berbeda dari dua upaya terdahulu dalam soal kedekatannya dengan gaya asli Murasaki dan banyaknya catatan tambahan untuk menjembatani perbedaan budaya antara pembaca dengan dunia yang dilukiskan dalam novel tersebut. Versi Tyler ini antara lain memuat daftar tokoh dan ringkasan plot di awal setiap bab untuk membantu seorang pembaca pemula memasuki dunia Genji yang rumit dan berlapis-lapis.
Tentu bukan sekadar usia tuanya yang membuat novel ini tetap dihargai. Genji Monogatari adalah sebuah adikarya yang ditulis dengan karakter dan setting yang terasa nyata, narasi yang deskriptif bagaikan sebuah jendela untuk menyaksikan sebuah dunia yang luas dan utuh. Seorang ahli sastra Jepang Donald Keene menyebutnya bukan sekadar sebagai novel tertua, tetapi juga salah satu novel terbaik dunia dan sebuah fenomena budaya. Kehadiran terjemahan Jepang modern dari Setouchi dan terjemahan Inggris baru dari Tyler kini mengantarkan adikarya klasik itu ke kalangan pembaca yang lebih luas.[]

Tokyo, Juni 2002. Pernah dimuat di suplemen Ruang BacaKoran Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biografi Kepenulisan Blogger

Komunitas Guru Menulis Komunitas bagi para guru/dosen yang se...