Jumat, 15 Februari 2013

Resensi Novel Sunda

Payung Butut
Novel karangan Ahmad Bakri, diterbitkan oleh Cupumanik di Cirebon tahun 1968. buku ini berukuran 18 cm x 12 cm, tebal 61 halaman. Buku ini pernah terpilih sebagai salah satu naskah terbaik oleh IKAPI Jawa Barat.
Dalam novel ini pengarang mengemukakan masalah ajaran moral dan nilai-nilai pendidikan. Tinggi rendah kemuliaan seseorang menurut pengarang telah ditentukan oleh keturunan dan golongan darah serta ketinggian pangkat leluhurnya. Seseorang tidaklah pantas jika selalu menyombongkan diri dengan mebesar-besarkan kedudukan orang tuanya, yang digambarkan oleh pengarang dengan payung (payung kebesaran) yang padahal sudah butut (rusak). Novel ini menggambarkan suasana kehidupan dipedesaan, yang diungkapkan dengan penuh humor dalam dialog-dialog yang plastis dan enak dibaca.

Ringkasan Ceritera
Kedatangan Naib baru telah menjadi bahan pembicaraan orang sekampung karena Naib yang baru ini perilakunya berbeda sekali dengan Naib yang lama. Dia angkuh karena keningratan yang diwarisinya. Keangkuhannya itu semakin kentara karena justru istri dan anak-anaknya memiliki sifat-sifat yang rendah hati, peramah, suka menolong, dan tidak pernah membanggakan keningratannya itu.
Naib baru ini mempunyai seorang gadis remaja puteri. Siti Habibah namanya, berusia 17 tahun. Pada suatu haru, gadis remaja ini bertemu dengan Suganda, anak seorang kepala desa. Kedua remaja ini saling jatuh hati dan berniat untuk saling mengikat janji. Suganda mencoba melamarnya. Sayang lamaran itu ditolak Pak Naib karena Pak Naib tahu bahwa Suganda anak kepala desa, bukan keturunan ningrat. Menurut bapak Siti Habibah, tidaklah pantas anak rakyat mengawini anak ningrat.
Pada suatu hari di desa itu datang seorang juru tulis kewedanaan, R. Wiraatmaja namanya. Selang beberapa hari setelah ada kesempatan bertemu dengan Siti Habibah, dia jatuh hati pula padanya dan kemudian melamarnya. Dengan segala senang hati, Pak Naib menanggapi lamaran untuk anak gadisnya, semata-mata karena tertarik akan huruf R, yang dikiranya raden keturunan ningrat. Akan tetapi ketika Pak Naib bertanya tentang asal-usul keturunan. Ternayata Wiraatmaja itu bukan keturunan ningrat, lamaran yang kedua kali itu pun ditolak Pak Naib.
Pada suatu ketika Siti Habibah sakit berat. Dia menderita sakit usus buntu dan harus dirawat di rumah sakit. Dokter menasihatkan agar dia mau dioperasi. Untuk kelancaran operasi dan keselamatan operasi dan keselamatan pasien, dia harus ditransfusi darah. Darah dicari kepada para tetangga Pak Naib, barangkali ada yang bersedia menyumbangkan darahnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Samsu, kakak ipar Suganda, untuk membalas sakit hatinya akan perlakuan Pak Naib yang telah menghina dan merendahkan martabat saudaranya. Samsu mengatakan bahwa dia bukan tidak mau menolong Siti Habibah, akan tetapi apakah bisa darah rakyat disatukan dengan darah ningrat. Mendengar hal itu, Pak Naib sangat terpukul dan barulah menyadari bahwa darah manusia itu sebenarnya sama saja, tidak ada perbedaan antara darah rakyat dan darah ningrat. Pada saat yang kritis itu, Pak Naib menyatakan pengakuannya bahwa masalah darah dan keturunan itu bukanlah ukuran tinggi rendahnya kemuliaan manusia.
Setelah Siti Habibah mendapat pertolongan sumbangan darah dari pada tetangganya, termasuk darah Suganda, dia sembuh kembali. Akhirnya lamaran Suganda diterima Pak Naib, dan Siti Habibah pun menjadi istri Suganda.



PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
                                                                                                                                                   DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biografi Kepenulisan Blogger

Komunitas Guru Menulis Komunitas bagi para guru/dosen yang se...