Payung Butut
Novel karangan Ahmad Bakri,
diterbitkan oleh Cupumanik di Cirebon tahun 1968. buku ini berukuran 18
cm x 12 cm, tebal 61 halaman. Buku ini pernah terpilih sebagai salah
satu naskah terbaik oleh IKAPI Jawa Barat.
Dalam
novel ini pengarang mengemukakan masalah ajaran moral dan nilai-nilai
pendidikan. Tinggi rendah kemuliaan seseorang menurut pengarang telah
ditentukan oleh keturunan dan golongan darah serta ketinggian pangkat
leluhurnya. Seseorang tidaklah pantas jika selalu menyombongkan diri
dengan mebesar-besarkan kedudukan orang tuanya, yang digambarkan oleh
pengarang dengan payung (payung kebesaran) yang padahal sudah butut
(rusak). Novel ini menggambarkan suasana kehidupan dipedesaan, yang
diungkapkan dengan penuh humor dalam dialog-dialog yang plastis dan enak
dibaca.
Ringkasan Ceritera
Kedatangan
Naib baru telah menjadi bahan pembicaraan orang sekampung karena Naib
yang baru ini perilakunya berbeda sekali dengan Naib yang lama. Dia
angkuh karena keningratan yang diwarisinya. Keangkuhannya itu semakin
kentara karena justru istri dan anak-anaknya memiliki sifat-sifat yang
rendah hati, peramah, suka menolong, dan tidak pernah membanggakan
keningratannya itu.
Naib
baru ini mempunyai seorang gadis remaja puteri. Siti Habibah namanya,
berusia 17 tahun. Pada suatu haru, gadis remaja ini bertemu dengan
Suganda, anak seorang kepala desa. Kedua remaja ini saling jatuh hati
dan berniat untuk saling mengikat janji. Suganda mencoba melamarnya.
Sayang lamaran itu ditolak Pak Naib karena Pak Naib tahu bahwa Suganda
anak kepala desa, bukan keturunan ningrat. Menurut bapak Siti Habibah,
tidaklah pantas anak rakyat mengawini anak ningrat.
Pada
suatu hari di desa itu datang seorang juru tulis kewedanaan, R.
Wiraatmaja namanya. Selang beberapa hari setelah ada kesempatan bertemu
dengan Siti Habibah, dia jatuh hati pula padanya dan kemudian
melamarnya. Dengan segala senang hati, Pak Naib menanggapi lamaran untuk
anak gadisnya, semata-mata karena tertarik akan huruf R, yang dikiranya
raden keturunan ningrat. Akan tetapi ketika Pak Naib bertanya tentang
asal-usul keturunan. Ternayata Wiraatmaja itu bukan keturunan ningrat,
lamaran yang kedua kali itu pun ditolak Pak Naib.
Pada
suatu ketika Siti Habibah sakit berat. Dia menderita sakit usus buntu
dan harus dirawat di rumah sakit. Dokter menasihatkan agar dia mau
dioperasi. Untuk kelancaran operasi dan keselamatan operasi dan
keselamatan pasien, dia harus ditransfusi darah. Darah dicari kepada
para tetangga Pak Naib, barangkali ada yang bersedia menyumbangkan
darahnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Samsu, kakak ipar Suganda,
untuk membalas sakit hatinya akan perlakuan Pak Naib yang telah menghina
dan merendahkan martabat saudaranya. Samsu mengatakan bahwa dia bukan
tidak mau menolong Siti Habibah, akan tetapi apakah bisa darah rakyat
disatukan dengan darah ningrat. Mendengar hal itu, Pak Naib sangat
terpukul dan barulah menyadari bahwa darah manusia itu sebenarnya sama
saja, tidak ada perbedaan antara darah rakyat dan darah ningrat. Pada
saat yang kritis itu, Pak Naib menyatakan pengakuannya bahwa masalah
darah dan keturunan itu bukanlah ukuran tinggi rendahnya kemuliaan
manusia.
Setelah
Siti Habibah mendapat pertolongan sumbangan darah dari pada
tetangganya, termasuk darah Suganda, dia sembuh kembali. Akhirnya
lamaran Suganda diterima Pak Naib, dan Siti Habibah pun menjadi istri
Suganda.
PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar