Mugiri
Sebuah novel karangan Yuhana (nama samaran), diterbitkan di Bandung
oleh penerbit (toko buku) Kusradie tahun 1928. novel ini terdiri dari 2
jilid, yang masing-masing berisi 39 dan 35 halaman. Novel ini pernah
dimuat kembali sebagai ceritera bersambung dalam Majalah Sunda mulai tahun I (32), Oktober 1965. di samping itu, pada tahun 1966 pernah diiklankan oleh penerbit Duta Rakyat, Bandung
bahwa akan diterbitkan kembali dalam bentuk buku. Ajip Rosidi (1929;
1983; 119 – 138) membicarakan novel ini dalam tinjauan kritiknya
mengenai karya-karya Yuhana yang bertema protes, Tini Kartini dan
kawan-kawan (1979), M.A. Salmun (1963:142) secara sepintas membicarakan
novel-novel Yuhana yang bertemakan menolak pergaulan bebas tanpa batas,
dan Iskandar Wassid (1979 ) mempelajari novel ini dalam usaha menemukan
struktur novel-novel Yuhana. Pemakaian judul Mugiri diambil dari nama salah seorang tokoh dalam ceritera ini.
Ringkasan Ceritera
Siti
Rakhmah anak tunggal Raden Surya, seorang jurnalis. Selain telah
menamatkan sekolah, anak gadis ini telah selesai pula mengikuti kursus
mengetik. Keluarga Raden Surya menempati sebuah rumah mungil yang
berhalaman luas di desa Cipaganti, bandung Utara.
Rumah itu terletak berseberangan dengan Situ Bunjali, tempat anak-anak muda bersantai menghabiskan malam minggunya.
Siti
Rakhmah sangat ingin berada di tengah kesenangan seperti itu, tetapi
takut akan larangan orang tuanya. Dalam keadaan seperti itulah kemudian
ia secara sembunyi-sembunyi berhubungan dengan Gan Adung. Seorang pemuda
bekas temannya kursus mengetik. Keduanya saling berjanji untuk hidup
berdampingan dan Gan Adung telah menyatakan niatnya untuk segera
meminang Rakhimah. Apabila lamaran itu ditolak, Siti Rakhmah bersedia
dilarikan.
Lamaran
Gan Adung ternyata ditolak setelah Raden Surya menelitinya selama
hampir sebulan dan terbukti bahwa calon menantunya itu telah memberikan
pengakuan-pengakuan bohong, di samping sikapnya yang sombong. Istri
Raden Surya menyangsikan kebenaran keterangan-keterangan yang diperoleh
suaminya itu.
Pada
suatu malam Siti Rakhmah dilarikan oleh Gan Adung dengan kawalan Karta,
orang kepercayaannya dalam memelihara ayam sabung. Beberapa saat
sebelumnya, Siti Rakhmah sempat dahulu menyampaikan
keterangan-keterangan ayahnya, tetapi Gan Adung memungkirinya diertai
janji-janji penuh rayuan. Siti Rakhmah dititipkan pada seorang perempuan
tua di Babakan Ciparay yang rumahnya terpencil dari tetangga. Bi Sarni,
nama perempuan itu, dan Karta menyatakan janjinya akan menjaga Siti
Rakhmah dengan baik.
Minggatnya
Siti Rakhmah diketahui keesokan harinya. Ibunya sangat sedih dan
bingung, sedangkan Raden Surya bersikap tenang dan memutuskan untuk
tidak mencarinya karena pelarian itu ternyata atas keinginan anaknya
pula. Ia berpendapat lebih baik tidak mempunyai anak daripada mempunyai
anak bertingkah buruk dan memalukan, padahal seorang anak yang ilmunya
cukup dan berpendidikan.
Kebahagiaan
Rakhmah hidup bersma dengan Gan Adung di persembunyiannya itu hanya
berlangsung satu sampai dua bulan. Mereka kemudian menikah setelah Gan
Adung beberapa kali mengundurkannya dengan berbagai alasan. Selanjutnya,
gan Adung sering bepergian dan jarang pulang. Akhirnya ia tidak pernah
lagi membawa uang gaji. Perhiasan dan barang-barang Siti Rakhmah
berangsur-angsur masuk rumah gadai, sampai akhirnya pakaian yang tersisa
pun hanyalah yang melekat pada tubuhnya. Setelah satu setengah tahun
berumah tangga, hamilnya pun genaplah sembilan bulan. Bi Sarni, orang
yang ditumpanginya, sudah sejak lama mulai berbudi kecut dan berkata
kasar kepadanya. Pada suatu hari malah secara langsung ia mengusir Siti
Rakhmah dengan kata-kata yang menyakitkan. Kedatangan Karta pada waktu
itu malah menambah kepedihan hatinya. Karta berbisik pada Bi Sarni bahwa
Gan Adung telah mempunyai wanita lain, seorang janda kaya yang baru
saja ditinggal mati oleh suaminya.
Pada saat-saat yang menegangkan seperti itu, datang ke sana
Tuan Gulam Kodir, seorang rentenir dan tukang kredit bahan pakaian.
Rasa jengkelnya kepada Bi Sarni yang selalu menghindar dari tagihan
mendadak hilang setelah diperkenalkan kepada Siti Rakhmah. Atas janji Bi
Sarni untuk menyerahkan Rakhmah, akhirnya Tuan Gulam Kodir membebaskan
semua piutangnya dan menghadiahkan dua potong kain yang diminta Bi Sarni
dan Karta. Dengan sisat Bi Sarni dan setahu Gan Adung, akhirnya Siti
dituduh telah berbuat serong dengan Tuan Gulam Kodir. Sebagai buktinya
ialah kedua potong kain itu, yang ditemukan di bawah tikar tempat tidur
Siti Rakhmah. Gan Adung menyiksa dan dengan paksa mengusir istrinya pada
malam hari di tengah hujan lebat, angin, dan halilintar.
Berangkatlah
Siti Rakhmah, meninggalkan rumah itu, melewati kampung Situ Saeur,
daerah Cipaganti, Lembang dan Cikidang. Sebelum sampai ke Cikawati,
perutnya mulai terasa mulas hendak melahirkan. Akhirnya, ia dengan
selamat melahirkan di sebuah dangau di tengah kebun jagung, bayinya
ditinggalkan di sana.
Bayi itu kemudian ditemukan oleh Bapa Ispa dan Ambu Ispa, pengurus
kebun itu, lalu diserahkan kepada Mas Wiria pemilik tanah itu yang
tinggal di Bandung. Anak itu kemudian diberi nama Mugiri untuk mengenang bahwa ia ditemukan di Gunung (Giri).
Siti Rakhmah sampai ke pasar Cikawari yang terletak di depan gudang kopi, lalu duduk di belakang sebuah jongko. Di sana
ia diusir pedagang dengan tuduhan sering mencuri barang dagangannya.
Rakhmah menyingkir, berteduh di bawah sebuah pohon. Di situlah ia
terkenang akan nasihat-nasihat ayahnya yang berkata bahwa ayahnya
tidaklah hendak memaksa dalam menentukan pilihan pasangan hidup anaknya,
tetapi anak sendiri harus matang memperhitungkannya supaya tidak
berakhir dengan penyesalan. Di situ pula ia ingat akan kebengisan
suaminya. Oleh karena kuatnya lamunan itu akhirnya Rakhmah mengamuk,
bertingkah seperti orang gila. Ia ditangkap beramai-ramai, disekap dalam
sebuah kamar kosong di rumah seorang pensiunan lurah. Kemudian ia
dijadikan pembantunya, tetapi tiga bulan kemudian terpaksa harus pergi
lagi karena ternyata lurah itu telah memaksanya untuk dijadikan istri
muda.
Siti Rakhmah sampai ke Puncak Eurad, sebuah kampung di gunung, perbatasan antara Bandung
dan Karawang. Ia diangkat anak dan bekerja pada Mak Ijah, seorang
perempuan tua penjual cendol. Setelah enam bulan berlalu, berangkatlah
keduanya ke Subang. Mak Ijah bermaksud menengok anaknya, Juki yang
bekerja sebagai mandor pabrik tapioka di sana.
Siti Rakhmah ternyata dapat diterima sebagai juru tik di tempat Juki
bekerja setelah di tes langsung oleh pemimpinnya seorang Belanda. Oleh
karena Siti Rakhmat fasih pula berbahasa Belanda, langsung ia memperoleh
gaji besar dan karena hematnya ia berhasil membeli tanah dan memiliki
rumah sendiri. Ia selalu ingat akan nasihat-nasihat Mak Ijah, selalu
berdoa untuk anaknya, serta berkeinginan bertemu kembali dengan kedua
orang tuanya.
Mugiri
dimasukkan ke HIS partikelir oleh ayah angkatnya, kemudian dilanjutkan
ke TS (sekolah pertukangan) agar kelak dapat menjadi opzichter
atau montir. Menurut pikiran ayah angkatnya, bekerja seperti itu dapat
merdeka. Sehari-hari ia terutama dididik akan kebaikan, kemanusiaan,
menyayangi bangsanya, dan menolong orang yang sengsara. Ia pun
dimasukkan pula kedalam perkumpulan Palvinder Nonoman Indonesia (PNI) dan
diharuskan belajar olah raga. Sementara Mugiri di TS, ibu angkatnya
menderita sakit, kemudian meninggal. Di samping mengucapkan beberapa
amanat, sebelum meninggal ibu angkatnya berdoa agar Mugiri dipertemukan
kembali dengan ibu kandungnya.
Setelah
lama hidup dalam kesenangan. Siti Rakhmah, Mak Ijah, serta Juki
sekeluarga berangkat dari Subang menuju Puncak Eurad, Cikawati dan
mengunjungi dangau tempat Mugiri dilahirkan. Kepada penggarap kebun,
Siti Rakhmah menyatakan niatnya untuk membeli kebun itu. Di tempat itu
akhirnya ia bertemu dengan pemilik kebun itu, yaitu Mas Wiria beserta
Mugiri. Atas desakan Mas Wiria, yang berpura-pura tidak mau menjual
kebun itu, akhirnya Siti Rakhmah terpaksa berterus terang menceritakan
kisah hidupnya mengapa ia berkeras hendak membeli kebuin itu. Kemudian
terbukalah rahasia Siti Rakhmah bahwa Mugiri adalah bayi yang dulu
ditinggalkannya. Tidak lama kemudian setelah Siti Rakhmah disahkan
perceraiannya dengan suaminya oleh pengadilan agama Islam, ia pun
menikah dengan Mas Wiria, kemudian pindah ke Bandung. Namun, tiga tahun kemudian Mas Wiria meninggal.
Sementara
ibu dan anak masih dalam suasana berkabung, terjadilah usaha
penggarongan ke rumahnya karena terdengar jumlah warisan yang mereka
miliki. Kedua pencuri itu ternyata Gan Adung dan Karta. Dalam pergumulan
malam itu Gan Adung tertikam oleh pisau Karta. Sebelum ia menghembuskan
napas terakhir, ia masih dikenali oleh Siti Rakhmah dan masih sempat
diberitahu bahwa Mugiri adalah anaknya.
Siti Rakhmah akhirnya kembali kepada orang tuanya dan diterima oleh mereka dengan penuh kegembiraan bercampur kesedihan.
PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN