Kamis, 04 April 2013

Fiksi Mini

Dari Hemingway Ke Tweetfiction

Ingin tahu mengenai tweetfiction – Fiksi mini 140 karakter ? Teruskan membaca…
“ Cerita fiksi itu cuma 6 kata. Selebihnya imajinasi - Ernest Hemingway
Tahukah anda, Ernest Hemingway telah menciptakan rumus dasar menulis fiksi saat menyatakan itu ?
Rumus itu menekankan kesederhanaan, kelugasan, dan ketuntasan pada sebuah karya fiksi. …Alih-alih menjejali fiksi Anda dengan kalimat artifisial & literer yang mengaburkan tujuan cerita.
Tapi pertanyaannya, mengapa Anda perlu mengindahkan pernyataan Hemingway diatas?

Karena pembaca butuh kejelasan

Fiksi adalah istilah sastra yang berarti tidak benar terjadi atau sebuah karangan belaka.
Tapi Anda mungkin kerap keliru menafsirkan definisi tersebut.
Anda kerap menulis fiksi dengan alur cerita meluas, melebar, dan tak jelas juntrungannya.
Masalahnya, pembaca terbiasa menginterpretasi ceritanya berdasarkan pengalamannya di dunia nyata. Karena itu, mereka menuntut cerita yang logis, dapat dipercaya, serta mudah dibandingkan dengan kenyataan.
Itulah penekanan dari rumus Ernest Hemingway.
Seorang penulis fiksi sebaiknya menghindari segala aksesoris & ornamen yang tidak berkontribusi memajukan cerita. Contohnya seperti…. Ayahku matahari. Ibuku bumi. Semesta membesarkan aku dengan cinta seterang bulan purnama.
..dan guna membuktikan kebenaran teorinya, Ernest Hemingway lalu merilis fiksi yang terdiri dari 6 kata saja di tahun 1920. Itulah novel terpendek sedunia:
For sale: baby shoes, never worn.

..Dan ternyata Hemingway bukan yang pertama

Berabad-abad sebelum Hemingway merilis novel terpendeknya, sebuah fiksi mini karya Gaius Julius Caesar telah lahir lebih dahulu:
I came. I saw. I Conquered.
Memang, Julius Caesar tidak bermaksud menulis fiksi. Ungkapan enam kata diatas lebih merupakan refleksi perjalanan hidup sang penakluk dunia. Sejarahlah yang kemudian mempopulerkannya lewat tradisi lisan ke seluruh dunia.
..Dan fakta hari ini membuktikan ungkapan itu telah menjelma sebagai salah satu karya literer paling populer.
..dan hebatnya lagi, karya itu hanya tersusun oleh 3 kata dalam versi aslinya
Veni, Vidi, Vici.

Fiksi panjang & pendek intinya sama saja

Pertanyaannya kemudian, apakah 2 contoh kalimat yang terdiri dari 6 kata diatas layak disebut cerita fiksi ?
Tentu saja.
Hanya kita tidak menyadarinya. Maklum, generasi kita telah dibesarkan dalam pemahaman keliru. Kita terlanjur memahami fiksi sebatas karya-karya tradisional berbentuk novel, atau cerpen, yang minimal terdiri dari 1.000 kata.
…lalu logika kita serta merta menolak kemungkinan adanya cerita fiksi yang tersusun dalam 6 kata saja.
Boleh jadi Hemingway sedang berniat mengolok-olok kita, bukan ?
Tapi tidak. Hemingway sungguh serius saat mengatakan itu.
Lagipula, Anda tidak akan pernah menemukan referensi yang menyebutkan jumlah kata pada tulisan sebagai syarat penulisan fiksi.
Panjang pendeknya cerita hanyalah kategorisasi produk dalam industri penerbitan. Misalnya naskah 1.000 – 7.500 kata disebut cerpen. naskah 7.500 – 20.000 kata disebut novelette… Dan naskah 50.000 – 110.000 kata disebut novel.
Lalu apa syarat sebuah cerita hingga layak dikategorikan sebagai karya fiksi ?
..Menurut Lila Guzman (pengarang Ask the Author), cerita yang lengkap adalah sebuah awal, tengah dan akhir, serta memuat empat elemen wajib yaitu karakter, setting, konflik, & resolusi.
Jadi sebuah cerita layak disebut karya fiksi  selama dia memenuhi seluruh persyaratan tersebut. Bukan karena panjang atau pendeknya sebuah cerita.
Kalau kemudian Ernest Hemingway mengatakan cuma 6 kata saja, mungkin karena itulah ambang minimal cerita fiksi dalam bahasa ibunya bisa memuat seluruh persyaratan tersebut.

Untuk menyamakan persepsi, mari kita membedah karya Julius Caesar

Aku datang, Aku lihat, Aku menang.
  • Cerita diatas dengan gamblang memperlihatkan adanya awal, tengah & akhir
  • Karakternya adalah Julius Caesar (sudut pandang orang pertama tunggal)
  • Konfliknya berupa peperangan antara pihak yang datang versus yang didatangi
  • Latar bertempat di medan peperangan dalam kurun waktu kejayaan kekaisaran Roma dibawah Julius Caesar
  • Resolusinya juga jelas menyebutkan Julius Caesar sebagai pemenang setiap peperangan
Tapi koq… ?
Yah,saya tahu anda ingin protes karena konflik & setting tidak eksplisit dalam cerita.
Tapi anda tentu masih ingat teori Hemingway “ … selebihnya hanya imajinasi”.
Anda tahu, seorang penulis bisa saja membubuhkan imajinasi sampai beribu-ribu halaman jika ingin menulis epos hidup Julius Caesar…Berpangkal dari 6 kata itu, ribuan kalimat selanjutnya bisa berupa sekumpulan karakter pendamping, tempat-tempat peperangan…dan  jalannya peperangan demi peperangan..
Tapi tetap saja, itu tidak bisa memungkiri kenyataan kalau epos itu sebenarnya tetap bisa diceritakan dalam 6 kata saja, benar ?
Bahkan, jika Anda jeli, model karya Julius Caesar diatas juga bisa diadaptasi kedalam beragam cerita fiksi lainnya.
Enam kata diatas… dalam imajinasi seorang sutradara menjadi skenario film Troy.
Tentara Yunani (Achiles cs) mendatangi kota Troya, melihat situasi sebelum merancang strategi kuda troya dan akhirnya memenangkan perang.
Tolkien sadar tidak sadar juga memakainya ketika menulis Lord of The Ring.
Frodo cs datang dari Shire ke Mordor, melihat-lihat situasi agar bisa membawa cincin ke kawah gunung api sebelum bisa mengalahkan mata jahat Sauron.
Bahkan sebenarnya JK. Rowling menggunakan rumus ini dalam Harry Potter…
Harry datang ke dunia sihir, Melihat-lihat situasi (Hogwarts), dan memenangkan pertempuran melawan Dia-Kau-Tahu-Siapa.

Kelahiran Tweetfiction

Sayangnya, sepeninggal Hemingway…penerbitan tidak lagi berpihak pada fiksi mini.
Tapi kita memaklumi mengapa media cetak tradisonal tidak berminat pada kategori ini. Kolom-kolom pada koran yang luas memang sengaja didesain untuk cerpen (termasuk cerbung) dengan kuota minimal 1.000-2.500 kata.
Namun sejarah berubah ketika manusia menemukan internet. Era kedigdayaan koran pun runtuh.
Internet dengan segala fiturnya kini memungkinkan setiap orang bisa mempublikasikan karya fiksinya sendiri.
Fiksi pendek ala Hemingway seolah bangkit kembali dari tidur panjangnya. Bahkan telah menemukan wadah yang tepat di internet berkat kemunculan salah satu fitur microblog bernama Twitter - Twitter adalah fitur blogging dengan karakter terbatas, yakni 140 karakter.
Twitter memungkinkan penggunanya (tweeps) mengirim pesan tertulis (tweet) dalam kuota 140 karakter yang bisa diakses para pengikutnya – Dalam bahasa Indonesia tweet kemudian diterjemahkan menjadi Menciak,  dari kata dasar ciak yang diartikan sebagai bunyi seperti bunyi/kicau anak burung menciap….. Tuwit..tuwit….
Media sosial ini perlahan dilirik oleh mereka yang hobby menulis fiksi, guna menghidupkan kembali tradisi menulis fiksi pendek a la Hemingway.
Para tweeps berlomba-lomba mengicaukan karya fiksi mereka di twitosphere. Bahkan ada akun bernama @fiksimini yang khusus menayangkan fiksi pendek yang di-retweet dari para followersnya.
Disatu sisi twitter memungkinkan para penulis fiksi melatih teknik memadatkan cerita….
…dan pembaca disisi lain, menemukan keasyikan tersendiri saat membaca fiksi-fiksi mungil semacam ini. Meski dibaca sekejap, namun fiksi mini bisa menimbulkan kesan mendalam yang lama…. sama seperti saat kita membaca fiksi panjang (cerpen & novel).
…dan setahun belakangan ini, trend menulis fiksi mungil via twitter bahkan menjadi kategori tersendiri dikalangan penulis dan pembaca fiksi tanah air. Beberapa komunitas kemudian mulai mensosialisasikannya dengan nama fiksi mini.
Tapi saya sendiri kurang sepakat dengan pemberian nama fiksi mini. Sebutan itu tidak punya differensiasi yang tegas.
Selama ini frasa cerita/fiksi mini terlanjur dipakai untuk menamai fiksi pendek 1.000 kata yang populer di koran-koran dengan nama cermin (cerita mini).
Saya sendiri lebih suka menamai fiksi mini dalam 140 karakter dengan sebutan… tweetfiction.
Nama tweetfiction menarik garis demarkasi yang jelas antara fiksi maksimal 140 karakter dengan cerita mini ala koran.  Disisi lain, nama ini juga membatasi dirinya hanya pada fiksi mini yang dipublikasikan dari dan oleh pengguna twitter.
Jadi singkatnya, definisi dari tweetfiction adalah cerita fiksi maksimal 140 karakter yang dipublikasikan penulisnya melalui twitter - Contoh & tips menulisnya diulas di artikel  tips menulis tweetfiction..
Tweetfiction adalah cerita fiksi maksimal 140 karakter yang dipublikasikan penulisnya melalui twitter –> Click to tweet

Apa yang akan terjadi selanjutnya pada fiksi mini ?

Sayang sekali,  penulis tidak membarengi semangat untuk memasyaratkan tweetfiction dengan disiplin yang ketat.
Karena kesekejapan & kesingkatannya, penulis terkesan menggampangkan proses pembuatan tweetfiction.
Tak ayal lagi, kita dengan gampang menemukan tweet berupa…. puisi, cukilan ide, sketsa gagasan, adagium, pemeo, jargon, atau  potongan dialog… lalu ujug-ujug si penulisnya mengklaim itu sebagai tweetfiction.
Padahal, tanpa kehadiran awal, tengah dan akhir…serta elemen karakter, setting, konflik & resolusi… Anda tidak bisa menyebut sebuah naskah begitu saja sebagai karya fiksi.
..Bagaimana menurut Anda ?

Artikel ngeunaan basa

Leungit Basa, Leungit Budaya

Bagikan ka Lapak Facebook
 
FBS
Internet [Gambar/Ilustrasi: Monumen Basa Indung di Afrika]
K. David Harrison teh dosén Linguistik di Swarthmore College sakaligus Diréktur Risét Living Tongue Institute for Endangered Languages. Panalungtikan étnografina ngawengku élmu pangaweruh masarakat suku pribumi, carita rahayat, dongéng lisan, jeung sistem paélmuan. Hasil panalungtikanana dituliskeun dina buku, When Languages Die: The Extinction of the World's Languages and the Erosion of Human Knowledge wedalan Oxford University Press (2007). Film dokuméntér ngeunaan panalungtikanana, nu judulna “The Linguists”, asup nominasi Emmy Awards. Di handap ieu tarjamahan bebas hasil wawancara jeung K. David Harrison nu dicutat ti rupa-rupa sumber. Hapunten bilih aya nu lepat. Mugia mangpaat.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cenah aya sababaraha rébu basa di sakuliah dunya nu saabad ka hareup bakal punah. Naha bisa kitu?
Jumlah pastina mah uing teu nyaho, tapi mun teu salah, kurang leuwih tujuh rébu basa kabehanan. Tina jumlah ieu, para élmuwan geus ngiker-ngiker yén satengahna bakal punah jero 10-100 taun ka hareup.Réa jalma nu curinghak ngadéngé jumlah ieu teh, "Naha geuning uing teu apal?" cenah. Nya pantes teu apal ogé., da kalolobana jalma ukur nyaho di basa nu dominan bae.
Salah sahiji alesan basa daérah punah nyaéta lantaran basa nu dimaksud ngalaman prosés invisibilisasi atawa ngaleungit, tara dipaké deui lantaran panyaturna ngolotan. Salah sahiji contona nyaéta kasus Marie Smith Jones, panyatur pamungkas basa daérah Éyak (salah sahiji basa daérah di Alaska). Anjeunna tos pupus taun 2008. Ku maotna Marie, otomatis basa Éyak punah.

Panyatur basa daérah siga Marie Smith Jones biasana cicing di tempat nu nenggang, béda kampung, atawa pajauh jeung sasama panyatur basa daérahna. Tumerapna, basa nu dikawasana éta tara dipake dina paguneman sapopoé, malah bisa jadi kulawargana euweuh nu nyaho yén aya aya di antara maranéhna nu bisa nyarita ku basa daerah éta.

Dumasar sénsus taun 2005, aya 204 basa daérah nu panyaturna kurang ti 10 urang jeung 344 basa daérah nu panyaturna kari 10-99 urang deui. Upama panyatur-panyatur ieu cicingna misah, laun-laun basa éta teh jadi simpé, tara dipaké dina paguneman deui, laju ngaleungit, nepika ahirna punah sanggeus panyaturna maraot.

Siga nu saab panginten nya? Kawitna mah katingal, lami-lami ngipisan, laju ilang.
Kitu pisan.

Lebar, nya?
Mungguh pikamelangeun keur nu paduli kana pentingna élmu pangaweruh jeung budaya mah.

Salian ti nenggang, béda kampung atawa pajauh, naon deui nu bisa jadi sabab punahna basa daérah? Naha aya hubunganana jeung globalisasi sarta tiori seléksi alam?
Alesan utaman basa daérah punah --di alam globalisasi ayeuna, nyaéta ayana intervénsi ékonomi jeung sosial kana widang basa. Panyatur basa daérah saolah-olah dipaksa mopohokeun basana alatan dikudukeun ku kaayaan. Maranéhna jadi percaya ---ka kultur nu leuwih dominan, yén basa nu dipaké ku maranéhna teh buhun, kampungan, moal matak maju, atawa teu cocog jang kapentingan dunya modérn. Hiji-hijina cara pikeun maranéhna supaya bisa ngigelan jaman nya kudu “ganti létah”, nyarita ku basa nu sipatna leuwih global.

Conto kasus dicaritakeun ku Spartak K., salah saurang panyatur basa daerah Tofa di Sibéria nu lahir taun 1930. Cenah, masarakat Tofa ngalaman diskriminasi jeung paksaan pikeun jadi urang Rusia. “Taun 1950-an, urang Tofa teu meunang asup ka toko upama maranéhna maké baju kulit has Tofa. ‘Dibaju cara urang Rusia heula, kakara meunang balanja!’ kitu, cenah. Suku Tofa gé dicaram maké basa daérah di wewengkonna sorangan. Laun-laun, uing jeung nu séjén eureun nyarita ku basa éta.”

Ieu teh salah pisan. Pikeun mampuh nyarita maké basa global atawa ngigelan jaman, urang teu kudu eureun maké basa daérah tur euweuh nu bisa maksa urang eureun nyarita ku basa daérah. Jalma nu multilingual (bisa nyarita make loba basa) bakal reuwaseun upama hiji poé, manehna ujug-ujug dititah monolingual (nyarita ukur ku sahiji basa). Basa mana nu kudu dikurbankeun atawa diécagkeun? Tangtu kana liwungna. Keur uing pribadi --nu geus biasa nyarita boh ku basa Inggris atawa Perancis, konsép monolingual teh absurd kacida. Leuwih absurd deui lamun nu ditanyana panyatur nu bisa boh basa Cree (basa daérah di Kanada) atawa Inggris, upamana.

Naha basa nu ukur dipaké dina tradisi lisan tapi teu boga tradisi nulis bakal leuwih gancang punah?
Lisan jeung tulisan téh dua hal nu béda. Loba basa di dunya teu boga tradisi tinulis jeung teu butuh tradisi ieu pikeun éksis atawa dianggap onjoy sanajan enya, ayana karya tinulis bisa manjangkeun umur hiji basa. Hiji gagasan bisa ditepikeun jeung disebarkeun jero  hirup kumbuh ku ayana tulisan. Tapi nulis teh hiji téknologi nu kawilang ngiwari. Tradisi lisan boga kaleuwihan nu mandiri. Hanjakal, lantaran geus dibiasakeun hirup dina tradisi nulis, urang teu pati ngahargaan kabeungharan jeung kaampuhan tradisi lisan.

Janten kumaha?
Aya tilu faktor nu ngalantarankeun basa daérah bisa leungit. Faktor kahiji, nyaéta ayana rupa-rupa basa: wewengkon mana nu masarakatna paling multibasa? Faktor kadua, nyaéta kamungkinan punah: basa daérah mana nu saeutik panyaturna? Faktor katilu, basa daérah mana nu dokuméntasina paling saeutik? Loba pisan basa daérah nu teu boga dokuméntasi mangrupa kamus, rékaman atawa arsip pikeun dibaca jeung dijadikeun bahan ajar keur balaréa. Tah, upama tilu faktor ieu ngahiji –rupa-rupa basa, lolongkrang punah jeung saeutikna dokumentasi, hartina basa éta bakal punah. Kari nungguan waktuna baé.

Uing gawé bareng jeung Dr. Greg Anderson ti Living Tongues Institute for Endangered Languages pikeun nalungtik hal ieu, nu ogé mangrupa bagéan tina program Enduring Voices nu diayakeun ku masarakat National Geographic. Nepika danget ayeuna, aya kurang leuwih salosin basa nu dikira-kira bakal leungit dina waktu deukeut, kaasup dua di Amérika Kalér, hiji di Oklahoma, hiji di Pasifik Wétan, hiji di British Columbia, Orégon, Washingon jeung California. Séjénna sumebar di Paraguay, India, Papua Nugini, jeung Sibéria. Hasil gawé ieu bisa dipaluruh di http://www.livingtongues.org. Di wébsite éta disadiakeun peta interaktif jeung katerangan ngeunaan basa-basa di sakuliah dunya.

Lian ti basana sorangan, naon nu bakal ilang lamun hiji basa punah?
Ieu panalék nu alus pisan. Lolobana jalma mikir siga kieu, "Sigana bakal leuwih hadé lamun kabéh jalma nyarita maké basa Inggris." Uing teu satuju kamandang éta. Singsaha waé nu bisa nyarita maké dua basa (bilingual) tangtu apal yén teu kabéh basa bisa ditarjamahkeun ka basa séjénna satarabasna. Unggal basa mibanda konsép jeung pola pikir nu béda. Bakal karasa aya nu pegat atawa leungit lamun urang nyobaan narjamahkeun hiji basa ka basa séjénna kitu baé.
Pikeun jalma monolingual jeung can kungsi ngalaman kumaha hésé bélékéna narjamahkeun, uing rék nyarita: pék geura toongan sistem élmu pangaweruh radisional nu kacida beungharna. Geus kabuktian yén suku bangsa asli (pribumi) téh leuwih wanoh kana ékosistemna tibatan deungeun-deungeun.

Contona?
Dina buku When Languages Die, uing nulis, “Upama hiji basa punah, hasil karancagé uteuk salila mangratus taun ogé tangtu bakal milu punah. Conto karancagé uteuk di dieu misalna sistem kalénder, sistem usum, ngaran-ngaran sato jeung tatangkalan, logika ngitung, mitos, musik, cara hirup, jeung sajabana.” Teu kabéh bangsa bisa nyieun monumén atawa prasasti, tapi unggal bangsa pasti mibanda kabeungharan basa jeung kosa kecapna sewang-sewang.

Buku uing éta loba pisan nyaritakeun kalinuhungan basa daérah di Sibéria, lantaran di dinya pisan uing lolobana ngayakeun panalungtikan. Uing loba tatanya ka suku pribumi Tofa ngeunaan sistem luar biasa nu dipaké ku maranéhna pikeun nyieun klasifikasi raindeer (sabangsa kidang). Raindeer teh sato nu kacida pentingna keur sukuTofa mah: dagingna didahar, kulitna dijieun baju, ogé ditumpakan --siga kuda. Teu anéh mun maranéhna apal pisan kana seluk-beluk raindeer. Pangaweruh ngeunaan sato ieu dipaké ku maranéhna pikeun ngajaga kalumangsungan hirup di Siberia nu alamna gangas kacida.

Suku Tofa ngawilah-wilah raindeer kana opat dimensi matrik: dumasar umur, jalu-bikang, lindeuk-henteu, sarta subur-henteuna. Éta téh sistem élmu nu kacida ruwetna. Euweuh kecap pikeun ngawilah-wilah raindeer ieu boh dina basa Rusia atawa basa Inggris. Jadi, upama suku Tofa dipaksa bari rurusuhan kudu make basa dominan, pangaweruh ngeunaan raindeer ieu bakal leungit.

Urang geus loba kaleungitan élmu ngeunaan tutuwuhan obat, ékosistem laut, jeung rupaning paré nu baheula jumlah variétasna nepika 120 rébuan. Élmu ngeunaan ngaran jeung rupa variétas paré ieu nu ukur dipikanyaho ku suku bangsa pribumi. Hanjakal pisan upama pangaweruh ieu leungit. Loba pisan nu can kacatet ku dunya modérn.

Ti taun 1600-an, kacatet aya 484 spésies sato jeung 654 spésies tatangkalan nu geus punah. Tapi ayeuna, potensi punahna basa daérah (40%) singhoreng leuwih gédé tibatan proséntase punahna manuk (11%), mamalia (18%), lalaukan (5%), atawa tatangkalan (8%).
Karugian ku bakal kaalaman ku leungitna basa hésé pisan ditarima ku akal séhat jalma awam. Maranéhna leuwih bisa narima jeung ngarti résiko leungitna spésies tatangkalan upama leuweung Amazon dibukbak, misalna, tibatan résiko leungitna basa. Padahal ceuk Ken Hale, ahli basa kawentar, “Upama hiji basa leungit, urang sakaligus bakal kaleungitan budaya, hasil karya inteléktual, sarta hasil karya senina. Sarua baé jeung muragkeun bom ka Museum Louvre.”

Cobi langkung jéntrékeun deui...
Suku-suku pribumi téh pakar ngeunaan ékosistemna sorangan. Uingah sok ngarasa ningnang upama lalajo tim élmuwan ti Amérika nu ngayakeun panalungtikan di Vénézuéla atawa Nugini, tuluy dina TV maranehna ngalaporkeun, “Tim kuring geus manggihan 6 spésies manuk anyar,” jeung saterusna. Saupama tim élmuwan dina ékspédisi samodél kieu daek ngariung jeung suku pribumi nu nyicingan éta tempat, tuluy nanya ka maranéhna maké basa daérahna, “Cik béjaan ngeunaan rupa-rupa tatangkalan, lauk jeung manuk nu aya di wewengkon dieu!” Tangtu tim éta bakal nimu leuwih ti 6 spésies manuk anyar.

Élmuwan nu daék tatanya ka pribumi bakal colohok mata simeuteun mun ngaregepkeun kanyaho suku pribumi ngeunaan ékosistemna. Pangaweruh suku pribumi bisa jadi leuwih kompléks, leuwih canggih, jeung leuwih beunghar dina urusan klasifikasi manuk, misalna, tibatan taksonomi Barat. Loba kasus nu nuduhkeun yén pangaweruh jeung kaarifan lokal ngeunaan ékosistem, leuwih onjoy tibatan élmu pangaweruh modérn. Maranéhna nu cicing di Kutub Kalér boga pangaweruh linuhung ngeunaan és jeung pola cai katut migrasi. Di éra global warming cara ayeuna, pangaweruh éta teh kacida pentingna.

Singgetna dina hal ieu, lamun basa daérah dileungitkeun, bakal aya 3 karugian nu bakal karandapan: ilangna pangaweruh ékosistem jeung ngaran rupa-rupa spésies, ilangna basa éta sorangan, jeung ilangna sistem pangaweruh ngeunaan ékosistem nu aya dina basa éta.

Naha panyatur basa daérah sadar yén lamun maranéhna maot, basa daérahna bakal punah?
Sadar sarta ngaku. Maranéhna sadar basana keur digunasika, ngaku yén gagal nurunkeun élmuna, sarta manglebarkeun generasi ngora nu haré-haré jeung nganggap sapélé.
Hadéna, krisis basa daérah teh nimbulkeun gerakan ti akar rumput sakuliah dunya nu miharep ayana révitalisasi basa, di antarana di Kanada jeung Amérika Kalér. Maranehna teu satuju kana pamanggih nu nyimpulkeun yén lantaran panyatur hiji basa daérah geus saeutik, mangka éta basa daérah éta kudu dileungitkeun.

Kumaha prakprakanana prosés dokuméntasi basa?
Minangka deungeun-deungeun, jalma luar nu angkaribung ku alat rékam jeung sajabana, masalah utama nu disanghareupan ku uing dina panalungtikan nyaéta kuma cara sangkan bisa ngaraéh kapercayaan ti panyatur-panyatur basa daérah nepika maranéhna daék diajak deuheus. Tugas utama linguis minangka élmuwan étis nyaéta ngawanohkeun diri jeung pamaksudanana kalayan jéntré. Kudu taki-taki enyaan, sakapeung malah nepungan heula kapala suku --mun aya kénéh sabangsa nu kitu, tuluy ngawanohkeun manéh pikeun ménta izin jeung panangtayungan salila cicing di wewengkon eta. Nyanghareupan individu gé sarua carana, mimitina ménta izin heula pikeun ngarékam jeung ngamangpaatkeun matéri rékaman éta engkéna, ogé méré kompénsasi mangrupa duit pikeun ngagantian waktu nu disadiakeun ku maranéhna.

Uing hayang ngawangun hubungan nu alus jeung suku bangsa pribumi, lain ngan ukur datang, ngarékam, tuluy balik ngaringkid matéri. Matakna, uing sok ngahaja néangan individu lokal nu kalibet dina kagiatan basa, tuluy nanyakeun naon nu bisa dibantuan jeung naon nu dibutuhkeun ku maranéhna. Biasana maranéhna téh ménta, misalna, “Buku abjad ABC” atawa “Kamera video”. Sok dibéré. Uing gé mangnyieunkeun kamus wicara nu basisna internét atawa naon baé cara, média, jeung téknologi anyar nu bisa dimangpaatkeun pikeun ngarojong kalumangsungan hirup basa-basa daérah nu ampir punah éta.

Naha jasa panarjamah digunakeun pikeun komunikasi jeung suku pribumi?
Di Sibéria mah uing maké basa Rusia. Nu penting mah uing diajar saloba-lobana ngeunaan basa maranéhna. Ayeuna uing bisa nyarita dina sababaraha basa nu saeutik pisan jalma nu nyaho, nu panyaturna kari 10-30 urang deui. Uing bisa miluan ngawangkong, ngadéngékeun, jeung ngarti naon nu dicaritakeun ku panyatur aslina.

Sakapeung uing gé kudu maké basa séjén siga Inggris, Sepanyol atawa Rusia atawa basa global séjénna. Lamun geus euweuh deui basa nu bisa dipaké médium, bari euweuh panarjamah, uing make téhnik séjén.

Dina film “The Linguists”, interaksi munggaran dilakukeun ku cara nuduhkeun bagéan awak, biasana dada, bari nyebut ngaran. Geus kitu, uing jeung Dr. Greg Anderson kukurilingan di wewengkon éta, nyokotan gambar objék nu dianggap penting, tuluy néangan jalma pikeun nyebutkeun ngaran-ngaran objék dina foto éta. Jadi aya téhnikna. Balatak kénéh basa-basa daérah nu can kungsi kadokuméntasikeun. Sakapeung rékaman nu dijieun ku uing téh jadi rékaman munggaran sakaligus pamungkas, sabab panyatur basa daérah éta geus kolot teuing, can tangtu hirup keneh taun hareupna.  

Naon guna basa pikeun budaya, jeung kumaha budaya bisa mangaruhan basa?
Basa mangrupakeun puseur budaya. Uing di dieu ngutip Nora Vasques, nu diwawancara dina film The Linguists, lantaran ceuk uing mah, panyatur basa daérah bisa leuwih paséh jeung merenah nyaritakeun eusi haténa tibatan jalma luar. Nora téh panyatur Chemehuevi, hiji basa nu panyaturna ngan kari dua urang deui. Cenah, “Basa mangrupakeun bagéan tina diri urang. Basa teh rénghap. Teu boga basa sarua hartina jeung teu boga nyawa.”

Omongan éta bedas pisan. Basa téh ngébréhkeun panénjo ngeunaan dunya. Basa téh monumén budaya manusa. Réa jalma nu teu suka mun Katédral Notre Dame atawa Piramida Giza diancurkeun. Tapi basa leuwih gédé hartina tibatan katédral jeung piramida. Basa téh monumén karancagé manusa. Basa teh perkara nu leuwih kuno jeung leuwih aheng tibatan naon baé nu kungsi dijieun ku leungeun manusa.


Basa daérahna nu ampir punah téh lolobana aya di nagara miskin. Pangwangunan bisa ngamajukeun nagara-nagara ieu, tapi maéhan basana. Kumaha cara supaya tuker-tambahna adil?
Euweuh sahiji jelema, sakumaha miskinna, nu bisa beunghar ku cara miceun basa daérahna tuluy mulung basa global pikeun dipaké. Nu aya malah bakal tambah miskin sacara inteléktual. Urang sakabeh, kolot-budak, utamana barudak, bisa diajar bilingual atawa multilingual. Malah, barudak bakal leuwih calakan mun maranéhna ngawasa dua atawa loba basa (multilingual). Teu kudu miceun basa daérah. Panalungtikan ngabuktikeun yén bilingual téh nguatan uteuk.

Lian ti éta, basa daérah nyadiakeun tatapakan étnis jeung jati diri nu kuat pikeun generasi ngora. Salah pisan --sakapeung demi alesan pangwangunan atawa kampanyeu kasusatraan nasional, upama urang kudu ngécagkeun basa daérah demi basa nu leuwih dominan. Panyatur basa daérah Aymara, Zapotéc, Aka, atawa Mowhawk, nolak ideologi ieu. Maranéhna nyieun kaputusan stratégis keur kasalametan basa daérahna bari angger ngawasa basa dominan/global.

Kamekaran basa daérah kudu dirojong. Carana, laku-lampah urang kudu diubah. Lamun urang geus bisa ngahargaan pangaweruh inteléktual nu asalna tina pangaweruh basa daérah, kakara urang bisa nyalametkeun basa daérah éta. Euweuh nu nyaho gagasan jenius naon nu bakal jebul tina basa daérah naon: euweuh monopoli budaya dina urusan karancagé mah.

Naon nu rek ditepikeun ka nu maca?
Loba pisan élmu pangaweruh di sakuliah dunya, nu tacan kasungsi jeung katalungtik. Sakapeung mah asa dosa, rumasa cul-culan. Unggal ngawangkong jeung kokolot-kokolot suku pribumi asli, uing teu sirikna dongko hareupeun maranéhna, asa laip, nyurucud cimata di unggal kecap, unggal dongéng nu ditepikeun ku maranéhna...
 

Biografi Kepenulisan Blogger

Komunitas Guru Menulis Komunitas bagi para guru/dosen yang se...