Kamis, 27 Desember 2012

Sang Penulis itu adalah...




I’m blind and stupid…kata dalam Bahasa Inggris itu mengawali novelnya. Aku buta dan bodoh…. Seketika membuatku menarik korelasi antara kalimat itu dengan pengarangnya. Aku tahu ada poin “benar-salah” dalam kalimat itu yang bisa aku terapkan sama sang penulis…. Dan tentu saja dia tidak bodoh; kalau bodoh tentu mustahil bisa menulis novel brilian itu, ya, kan? Hanya saja, dia memang buta; penulis itu memang seorang tunanetra. Namanya Ari Sulaiman Sofyan, dan dia sebaya denganku.

Novel itu berjudul, “Raven Colony”. Menurut katalog dari penerbitnya, buku itu bergenre Fiksi Ilmiah, tapi aku sendiri nggak terlalu setuju—maksudku, meski memang novel itu berseting masa depan di sebuah koloni manusia di Phobos, salah satu bulan planet Mars, tapi tetap saja berfokus pada kisah manusianya. Bisa dibilang, kalau si penulis hendak mengemukakan sebuah argumen kalau manusia itu egois, korup, eksploitatif, manipulatif, dimanapun manusia berada. Dan tentu saja dia juga mengemukakan counter argument-nya dengan mengambil tokoh utama seorang cewek naïf yang terjebak antara dua faksi, yang dari sudut pandang cewek itu, pembaca dibuat terombang-ambing dalam penentuan mana yang baik dan mana yang jahat. Tema yang biasa, aku rasa; bagaimana kebaikan mengalahkan kejahatan, victory of good over evil. Ya, tema yang biasa…, tapi setelah membacanya… aku… aku jatuh cinta….

Berbeda dengan penulisnya, tokoh utama novel itu tidak buta, tapi bodoh… atau lebih halusnya, naïf…, yang mengingatkan aku sama diriku sendiri…. Ya, harus aku akui itu…. Mungkin aku punya masalah dengan rasa percaya diri—maksudku, orang-orang di sekitarku sama sekali nggak menganggap aku bodoh, aku hanya…. Well, aku percaya sama penilaian Papa, dan beliau bilang, aku nggak bodoh, malah sebaliknya, aku sangat cerdas, tapi aku selalu mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan. Aku ingat Papa pernah menasihatiku, “Come on, Erin! Yang jadi masalah itu bukan pilihannya, tapi konsekuesinya; apa kamu bisa bertanggung jawab atau tidak sama pilihan kamu itu, ya, kan? So…, hit hard! Shoot to kill! Burn the bridge behind you, leave no retreat!” Dan… novel itu menekankan, menegaskan, emphasize nasihat Papa itu….

Ya, bisa dibilang novel itu menjalin ikatan yang… yang pribadi dengan diriku. Karenanya, aku ingin tahu lebih jauh lagi siapa Ari Sulaiman Sofyan itu. Kupikir dengan Google dan jejaring sosial aku bisa mudah cari tahu, tapi ternyata…. Memang dia punya beberapa akun di beberapa jejaring sosial, bahkan dia juga punya website, tapi semua itu dikelola bukan oleh dirinya. Bagaimanapun dia buta, tunanetra, tidak bisa melihat; dia punya keterbatasan yang bisa membuat kamu bertanya-tanya apakah status yang kamu baca di layar itu benar-benar dari dirinya atau bukan. Jikapun ya, dia mesti minta tolong sama “seseorang” untuk membacakannya sekaligus meresponnya yang bisa jadi akan terdistorsi, altered, atau terbiaskan oleh opini “seseorang” itu…, meskipun kemudian aku tahu “seseorang” itu adalah kakaknya sendiri bernama Annida Bilqis Sofyan. Bagaimanapun… apa yang aku temukan di internet tidak memuaskan aku…. Lalu aku melihat spanduk di sebuah perempatan jalan yang mengumumkan adanya sebuah pameran buku; salah satu event-nya adalah jumpa fans dengan Ari Sulaiman Sofyan….

Tentu saja aku akan berusaha hadir di jumpa fans itu; aku akan bertanya pada sesi tanya jawab, aku akan minta tanda tangannya…, tapi kamu tahu? Tiga hari sebelum pameran itu, aku ditakdirkan bertemu dengannya…, tidak hanya sekali, tapi…, tapi itu juga ternyata tidak bisa membuatku merasa lebih..baik… Oh, maafkan aku, aku belum sempat memperkenalkan diri. Namaku Erin, Erinna Sumiati Keener; Sumiati dari nama belakang Mama yang asli kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Keener dari nama belakang Papa, seorang mualaf asal Houston, Texas. Aku sendiri lahir dan besar di Bandung. Kami tinggal di sebuah kompleks pemukiman yang bisa dibilang elit, di sisi utara Bandung. Hanya saja…, apa kamu pernah memperhatikan pola layout setiap kompleks pemukiman? Sejauh yang aku tahu, mau elit atau tidak, setiap aku memasuki suatu kompleks pemukiman, segera aku temui seruas boulevard yang di kanan-kirinya berjejer Rumah Toko atau Ruko, kamu setuju, kan? Anyway, hal itu nggak berbeda dengan kompleks perumahan tempat aku tinggal. Aku perlu menceritakan ini karena… aku bertemu dengannya di salah satu Ruko itu.

Usiaku delapan belas tahun. Aku baru keluar dari SMA dan baru menginjakkan kaki di semester pertama dalam perjalananku menuju Sarjana Pendidikan. Terus terang, dunia pendidikan bukanlah panggilan jiwaku, maksudku aku tidak pernah bercita-cita jadi guru atau semacamnya, dan terus terang aku tidak tahu akan jadi apa nantinya; perlu kamu tahu cita-citaku berubah-ubah sesuai dengan suasana hatiku. Setelah aku membaca novel “Raven Colony” itu, kamu bisa mengerti kan kalau kini aku bercita-cita jadi penulis? Anyway, satu-satunya pertimbangan kenapa aku masuk Fakultas Pendidikan adalah kampusnya dekat dengan rumah, hanya itu. Dan ternyata, itu juga yang menjadi sebab aku bisa bertemu dengan Ari S. Sofyan.

Kampusku memang dekat dalam artian aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki, dan aku suka berjalan kaki. Mungkin aku agak sentimentil dengan mengatakan ini, tapi aku suka berangkat pagi-pagi sekali, menghirup udara segar, menapaki paving block yang telah bersih disapu para petugas kebersihan, lalu menyusuri boulevard yang akan mengantar aku keluar dari kompleks perumahan, melihat-lihat beberapa Ruko yang menggeliat membuka diri pada harapan dan janji sang hari…, aku suka itu. Lalu ketika aku pulang sore hari, aku suka berjalan menyusuri boulevard yang sama, menyaksikan ayunan lembut aktifitas orang-orang yang santai dan lebih menikmati hidup dari pada hiruk pikuk rat-race di pusat kota; obrolan para paruh baya di sebuah kios surat kabar tentang sepak bola semalam, beberapa mahasiswa yang bersenda gurau di sebuah coffee shop, atau melihat sesama muslimah yang pilih-pilih pernak pernik di sebuah butik jilbab dan kerudung. Sentimentil banget, ya?

Anyway, sore itu aku pulang kuliah, aku melihat sebuah kedai yang sepertinya baru. Kedai itu berpapan nama, Pie and Pizza, dengan tulisan kecil di bawahnya, “Whatever you like, pie or pizza, we serve it Halal.” Tulisan itu memang cukup menarik perhatianku, tapi sangat sebentar, karena ketika aku berjalan melewati kedai itu, melihat menembus jendela kaca, hanya sekedar memindai kegiatan orang-orang di dalamnya, lalu aku melihat dia…. Ari Sulaiman Sofyan, tengah duduk di sebuah meja, berkacamata hitam, menghadap sebuah laptop yang tengah menyala. Aku tertegun seketika, aku berhenti berjalan dan menatapnya. Sempat aku bertanya-tanya, benarkah siapa yang aku lihat itu? Yang aku tahu dia buta, ya, kan? Lalu kenapa dia bisa duduk menghadap layar laptop jika tidak bisa melihat? Tapi….

Di-dia memang buta…. Dia tidak melihat layar laptop itu! Dia hanya membiarkan jemarinya menari di atas keyboard yang jelas sekali telah dia kenal posisi tiap tuts-nya. Aku terkesima…. Aku terdiam cukup lama, sampai kemudian kesadaranku menepuk kepalaku dan berkata kalau aku bertingkah seperti orang bodoh. Aku lanjutkan langkahku, tapi…. Kamu bisa mengerti kan kalau langkahku kini melambat, dan nalarku mempertimbangkan alasan terbaik untuk memasuki kedai itu dan menghampirinya? Mungkin aku akan memperkenalkan diriku, atau… atau meminta tanda tangannya….

Masya Allah…, aku berdebar-debar! Seiring aku meramu skenario untuk menjumpainya, keraguan mulai merayap dan mencengkram dadaku. Bagaimana kalau dia itu orangnya ketus? Bagaimana kalau dia itu nggak sebaik yang aku sangka? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mendorong-dorong langkahku untuk tetap lurus kearah rumah, tapi…. Kemudian nasihat Papa berdering di kepalaku.

“Hit hard…. Shoot to kill…,” bisikku setengah menggeram. Lalu aku putar arah langkahku. Aku masuki kedai itu, tapi aku tidak menghampiri sang penulis. Dengan langkah konstan aku hampiri counter meski mataku tetap terpaku pada sosok tunanetra itu. Di counter aku disambut seorang muslimah berkacamata dan berjilbab lebar dengan corak unik yang menjadi seragam pramusaji kedai ini.

“Pesan apa, Teh?” tanya sang pramusaji ramah.

“Maaf, mau tanya, apa pria yang di sana itu Ari Sulaiman Sofyan?” tanyaku setengah berbisik seraya menunjuk ke meja yang aku maksud.

“Siapa?”

“Ari Sulaiman Sofyan,” jawabku seraya merogoh tas, mengeluarkan novel “Raven Colony”, dan memperlihatkan sampul belakangnya yang terdapat foto sang penulis kepada pramusaji itu. “Yang menulis novel ini.”

“Oh, benar juga,” tanggap sang pramusaji meski tampak tidak terlalu terkesan dan itu membuatku sedikit kecewa. Pramusaji itu mungkin tidak suka novel. “Apa ceritanya bagus?”

“Brilian.”

“Fans-nya, ya?” Wajahku terasa sedikit memanas. “Bisa dibilang begitu.”

“Bisa minta tanda tangan, dong?”

Aku terdiam sejenak. Aku perhatikan sang penulis itu, lalu kemudian berkata, “Sepertinya dia lagi sibuk, ya? Mungkin lain kali saja.”

Pramusaji itu tersenyum. “Ada lagi yang bisa saya bantu, Teh?”

“Oh, ya! Saya pesan… ada pizza yang kejunya ekstra?”

“Oh, ya, rekomendasi saya ini.” Pramusaji itu menekan display sentuh di sampingnya dan menunjukkan gambar dan nama satu nampan pizza.

Aku pesan pizza itu tanpa berpikir lagi; aku pesan pizza itu untuk dibawa pulang. Papa pasti suka pizza itu. Aku sendiri… tidak menyentuhnya. Bukannya aku tidak suka pizza, tapi…. Entahlah…. Sejak dari kedai itu, debar di dadaku sepertinya tidak mau berhenti….

Masya Allah…, apa yang tengah aku rasakan ini sebenarnya?

Keesokan harinya, debar itu masih aku rasakan; debar yang terangkum utuh dalam harapan, “Apa nanti sore dia bakal ada lagi di kedai itu?” Hanya saja, debar itu terpasung oleh sebuah tantangan, “Memangnya kalau dia ada, kamu bakal berani menghampirinya dan minta tanda tangannya?” Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku setiap menghadapi itu. But still…, debar itu tetap ada, dan semakin menyesakkan… 

Dan, ya… sore itu juga aku melihatnya lagi di kedai itu…, di meja yang sama…, masih menulis seperti kemarin…. Aku tahu aku bisa menghampirinya dan meminta tanda tangannya; tidak ada yang salah dengan itu, kan? Itu merupakan bentuk apresiasiku terhadap karyanya, kan? Jelas tidak ada yang salah dengan itu! Tapi….

Aku masuki kedai itu. Aku hampiri counter sambil sesekali melirik penulis itu. Pramusaji yang sama yang menyambutku. Dia tersenyum.

“Pesan apa, Teh? Atau… mau ngecengin penulis pujaannya?”

Aku sempat gelagapan, tapi segera kukuasai diri dan berkata, “M-mau coba pie-nya.”

Dia tersenyum makin lebar. “Oh, kalau begitu, ini pilihan pie yang ada. Maaf, untuk pie buah kiwi kami kehabisan persediaan.”

Aku pesan pie apel dan strawberi milkshake, tapi kali ini tidak aku bawa pulang. Aku pilih salah satu meja yang sebenarnya relatif jauh dari Ari S. Sofyan, tapi punya sudut pandang yang jelas. Aku bisa memperhatikannya tanpa terhalang apapun.

Aku nikmati pie apel itu sambil membuka-buka buku catatan kuliah sepanjang hari tadi, dan sambil sesekali memperhatikan Ari S. Sofyan. Menyedihkan, bukan? Aku tahu aku bisa menghampirinya, meminta tanda tangan, mengajukan beberapa pertanyaan atau semacamnya, tapi… tapi selanjutnya apa? Ya…, apa selanjutnya? Harus aku akui saat mendapati pertanyaan itu, ada dorongan hasrat yang… yang mengatakan kalau aku ingin lebih…. Lebih dari sekedar tanda tangannya, lebih dari sekedar tanya-jawab….

Aku mendesah. Apa-apaan aku ini? Apa yang salah denganku? Tapi kemudian aku menggeleng-geleng kepala, aku alihkan perhatianku sejenak pada Kalkulus dan Geometri Analitis di depanku. Kamu tahu? Aku berpaling hanya satu atau dua menit, tapi ketika aku melirik kembali meja itu, aku tidak lagi melihat Ari S. Sofyan. Ke-kemana dia?!

Dengan cepat aku lempar pandanganku ke pintu kedai, tapi dia tidak ada di sana. Dengan cepat aku beranjak dan setengah berlari mencapai pintu itu dan keluar. Aku lihat kiri-kanan, memindai pesisir boulevard, mencari sosok buta sang penulis. Dia tidak ada di mana-mana. Masa sih dia bisa bergerak cepat! 

“Cari siapa, Teh?”

Aku melompat kaget. Pramusaji yang tadi telah berada di belakangku.

“Oh-uhm, tidak, tidak apa-apa,” jawabku.

“Cari penulis itu, ya?” Dia tersenyum nakal.

“Umm…, kamu lihat ke arah mana dia pergi?”

Kulihat sorot mata di balik kacamata pramusaji itu berubah menyelidik, tapi senyumnya masih tersungging. Lalu dia berkata, “Ngefans, atau naksir, nih?”

Kamu tahu? Seandainya saja atas kepalaku disiram air, mungkin akan segera menguap karena mendadak mukaku terasa panas. Aku diam tertegun.

“Duh, mukanya merah tuh,” goda pramusaji itu. “Aku jadi penasaran, bagaimana cerita novel itu sampai kamu bisa kesengsem seperti itu.”

Aku terdiam. Aku gigit bibir bawahku.

“Boleh aku pinjam novelnya?” tanya pramusaji itu.

“Oh-uhm, y-ya, ya…, tentu….” Aku masuk kembali ke dalam kedai dan pramusaji itu mengikuti aku. Aku ambil novel “Raven Colony” dari tas dan menyerahkannya.

“Hmm, mungkin aku bisa bantu minta tanda tangannya buat kamu,” kata pramusaji itu.

“Jangan!” pekik aku yang terus terang tidak sepenuhnya aku sadari.

“Eh, kenapa?”

Aku tertegun. Aku tidak bisa menjawab.

“Oh, mungkin kamu mau melakukannya sendiri, ya? Nggak apa-apa,” ucap si pramusaji menanggapi diamku.

“Ehmm, besok lusa ada… ada jumpa fans-nya di Pameran Buku, di jalan Braga. Aku rasa itu saat yang tepat,” kataku meski terkesan agak memaksakan diri.

“O’ya? Bagus deh, kalo gitu. Tapi masih boleh pinjam, kan? Aku lumayan pembaca yang cepat. Besok juga beres.”

Aku hanya mengangguk. Kemudian dia berterima kasih dan meminta diri untuk kembali bekerja, dan akupun membereskan buku catatan dan tasku lalu aku pulang. Keesokan harinya aku tidak melihat Ari S. Sofyan di kedai itu, tapi aku masuki kedai itu. Aku hendak menagih novelku ke pramusaji itu. Sempat aku bertanya-tanya kemana gerangan Ari S. Sofyan, tapi aku hanya bisa berasumsi kalau dia mungkin bersiap-siap untuk pameran besok. Anyway, aku hampiri counter tapi aku tidak segera disambut oleh pramusaji itu. Aku lihat pramusaji itu berdiri di depan sebuah pintu yang tengah terbuka, dan dia tidak sendiri. Dia tengah berbicara dengan seorang pria berpakaian tipikal seorang koki. Dia sempat melihat aku dan sempat memberi aku isyarat untuk menunggu. Sebentar kemudian pria itu membebaskannya dan membiarkan pramusaji itu menghampiriku.

“Sori membuat kamu nunggu. Dilematis juga kalau punya boss yang merangkap jadi suami,” katanya seraya menghela nafas panjang. “Kamu mau ngambil novel kamu, ya? Tapi, bisa nunggu sebentar, kan? Kamu boleh pesan apa aja. It’s on the house.”

Aku sempat menolak tawarannya, tapi dia memaksa dan membuatku memesan segelas strawberry milkshake. Aku duduk di salah satu meja dan menunggu. Aku menunggu tidak terlalu lama. Pramusaji itu datang dan mengembalikan novelku seraya duduk di hadapanku.

“Kayaknya layak buat dibeli, ya?” katanya.

Aku tersenyum. “Sangat,” tanggapku.

“Tapi…, mungkin gara-gara aku sudah tahu pengarangnya buta, ya, kalau aku jadi…, gimana, ya? …Beranggapan kalau tokoh utamanya itu sebenarnya dirinya sendiri, meski beda jenis kelamin—maksudku, sikap plin-plannya, naifnya, sebenarnya berasal dari dirinya sendiri yang… yang berasal dari perasaan insecurity…, perasaan nggak aman akibat… keterbatasan dirinya….”  

Aku tercenung sesaat. “Ya…, aku setuju. Tapi masalahnya, dia berhasil menuliskannya. Aku melihat novel ini jadi… jadi semacam inner struggle…, perang batin dirinya yang berusaha untuk tidak takluk pada… keterbatasannya, pada perasaan insecurity-nya…. Dan dia berhasil! Novel ini buktinya…. Novel ini adalah pialanya….”

“Wow, itu nggak pernah terpikir olehku,” tanggap si pramusaji kagum.

“Menurutku sendiri, tokoh utamanya itu… seperti aku,” lanjutku. “Kamu lihat sendiri, kan? Aku nggak punya keterbatasan apa-apa, tapi… minta tanda tangan-nya saja nggak bisa…. Padahal aku tinggal mendatanginya, ya, kan?  Tapi….”

“Tapi kamu ingin lebih dari sekedar tanda tangannya, ya?”sambung pramusaji itu dengan suara yang lembut.

Aku mendengus lemah. “Entahlah,” jawabku seraya berpaling sejenak ke jendela. “Aku hanya ingin tahu bagaimana dia bisa menuliskannya…. Bagaimana dia bisa mengambil tokoh yang… yang seolah-olah menjiplak aku…, tapi nggak sampai di situ, dia juga seolah-olah mengkonfrontasi aku; ba-bagaimana kalau seandainya aku dihadapkan dengan pilihan yang-yang menyangkut orang banyak, menyangkut hidup-mati orang yang kita sayangi? Dia juga menunjukan sebuah konsep dimana ketika kita memutuskan sebuah pilihan, kita juga ‘membunuh’ pilihan yang lainnya, yang justru itu meng-emphasize argumen kalau ‘tidak memilih’ juga merupakan pilihan yang… yang akan meng-annihilate pilihan yang ada. Dan… dan dia berhasil menyelesaikan novelnya…, tersimpulkan secara utuh…. Sementara aku…, aku merasa tertinggal…, nggak seperti sang heroine dalam novelnya, aku masih plin-plan… masih punya krisis percaya diri…. Seandainya yang kamu bilang itu benar, kalau dia memang punya perasaan insecurity yang akut, dengan terbitnya novel ini, berarti dia sudah melampauinya…. Aku… aku hanya ingin… sedikit nasihat darinya…, itu saja aku rasa.”

Kulihat pramusaji itu tersenyum lembut. “Kamu jatuh hati sama dia, ya?” Aku mendengus, dan terus terang aku hendak menyangkalnya, tapi… bagaimana aku bisa menyangkal sesuatu yang sudah jelas. Aku diam…, hanya bisa diam dan merunduk.

Aku menengadah ketika aku rasakan punggung tanganku di tepuk pramusaji itu. Dia tersenyum. “Kamu tahu? Memang kadang sebuah pilihan bisa membawa kita kepada rasa sakit, entah itu sakit hati atau apalah. Tapi kamu tahu? Seorang Yunani pernah bilang,

‘Imbalan dari rasa sakit adalah pengalaman.’”

“Aeschylus, penulis drama jaman Yunani kuno,” timpalku.

“Tuh, kamu lebih berwawasan daripada aku. Nasihatku jadi kurang bermakna, ya?”

Aku tersenyum. “Bagaimanapun aku berterima kasih.”

“Sama-sama. Oh, sori. Aku mesti kembali kerja. Good luck buat besok, ya?” Sepeninggal pramusaji itu, aku menghela nafas panjang. Memangnya apa yang bisa aku lakukan besok? pikirku. Pertanyaan itu menggaung dalam kepalaku tanpa mampu aku jawab.

Keesokan harinya aku sudah berniat bolos kuliah, tapi… aku tidak bisa. Jangan tanya alasannya, tapi aku bisa bilang kalau itu karena aku… nggak punya skill persuasif yang baik…, aku bukan pembohong yang lihai. Alhasil, aku terlambat ke jumpa fans itu; tidak hanya itu, di tengah perjalanan hujan turun deras. Aku sampai di pameran buku itu kebasahan—tidak basah kuyup, tapi cukup basah untuk menghindari berdesak-desakan. Tapi, semua itu bukan yang terburuk. Ketika aku sampai di jumpa fans itu, para hadirin tengah bertepuk tangan lalu diikuti MC yang berkata, “Mungkin satu lagi pertanyaan, ya, Kang Ari?”

Kulihat Ari S. Sofyan tengah duduk di atas panggung dan dia mengangguk.

Demi Allah, seharusnya aku bisa mengambil kesempatan itu! Seharusnya aku bisa dengan agresif mengacungkan tangan dan bertanya langsung, tapi… tapi aku malah membiarkan seorang siswa SMP berdiri dan bertanya, “Nama saya Siti, dari SMPN 10, saya mau tanya, apa ada tips-tips buat menulis dengan baik—maksudnya supaya bisa lebih pede nulis? Gitu aja. Terima kasih.”

Kulihat Ari S. Sofyan terdiam sejenak. “Ini pertanyaan terakhir, ya? Terus terang, saya pikir akan ada yang bertanya, bagaimana saya bisa jadi buta? Sebelum menjawab pertanyaan Rayi Siti, ada baiknya saya ceritakan itu dulu. Saya buta karena kecelakaan. Kejadiannya nggak jauh dari sini. Di sebelah selatan Braga; di sana ada banyak bangunan jaman Belanda, ya, kan? Waktu itu jam sepuluh pagi, saya lagi pakai motor, lumayan cepat. Terus tiba-tiba saya lihat ada semacam pemotretan di depan sebuah gedung tua. Saya lihat ada modelnya, seorang perempuan… bisa dibilang nyaris nggak pakai apa-apa. Saya melihat cuma sedetik, tapi akibatnya sangat fatal. Roda depan masuk lubang, saya terlempar hingga muka saya membentur kaca spion mobil yang tengah terparkir. Kedua mata saya robek.”

Ari S. Sofyan kemudian diam. Forum Jumpa Fans ini mendadak terasa hening.

“Dari diamnya Anda sekalian, saya berasumsi Anda menganggap cerita saya benar,” kata Ari S. Sofyan. “Sebenarnya nggak. Itu nggak benar. Saya berbohong.”

Terdengar beberapa tawa kecil dari para hadirin.

“Anda mungkin sekarang berpikir, ‘Dasar penulis fiksi!’ Tapi terus terang, apa karena saya penulis fiksi saya berhak untuk berbohong? Novel yang saya tulis jelas tidak nyata, jadi apa saya sebenarnya pembohong? Jadi…, tips pertama saya, bedakan dulu apa kamu itu penulis fiksi atau pembohong. Bedanya cukup jelas, bukan? Pembohong itu mengatakan sesuatu yang nggak benar supaya dianggap benar untuk tujuan tertentu, setuju, kan? Sementara penulis fiksi…, yah, terus terang saya lebih menganggap diri saya sebagai human analist, saya reka beberapa karakter manusia, saya simpan di semacam wadah rekaan seperti Raven Colony, lalu saya lihat apa yang akan terjadi. Dan novel saya itu adalah semacam laporan saya; dan alhamdulillah, dari apresiasi Anda sekalian, saya bisa menganggap laporan saya cukup baik, dan insya Allah, ada hikmahnya.

“Lalu soal pede, terus terang, saya menulis bukan karena percaya diri. Terus terang, saya nggak percaya sama diri saya sendiri. Baru saja saya berbohong, kan? Terus apa yang bisa dipercaya dari diri saya kalau saya punya potensi untuk berbohong? Mungkin sekarang kamu akan bertanya, ‘Terus percaya sama siapa, dong?’ Well, kenapa nggak percaya sama yang Nggak Pernah Berbohong? Kenapa nggak percaya sama yang menciptakan kita, yang menciptakan lima miliar manusia dengan ceritanya masing-masing, dan tiap ceritanya adalah nyata? Dan ini menjadi premis untuk tips saya yang kedua; berdoa. Ya, sering-sering berdoa. Saya pikir berdoa bukan hanya untuk dikabulkan oleh Allah, tapi untuk mendefinisikan apa yang sebenarnya kita inginkan; kalau nulis, apa yang sebenarnya ingin kita tulis. Tidak hanya itu, berdoa juga melatih kita merangkai kata-kata, ya, kan?

“Mungkin hanya itu, tapi sebelum acara ini berakhir, saya ingin menyampaikan ini. Terus terang, sebenarnya saya tidak berhak mendapatkan apresiasi Anda. Anda lihat sendiri, saya buta. Memang saya sudah hafal benar letak tuts keyboard, tapi kesalahan selalu saja ada, dan saya tidak bisa memperbaikinya jika tidak ada kakak saya, Annida Bilqis Sofyan. Sayangnya dia tidak bisa hadir di sini….”

Kata-kata Ari S. Sofyan selanjutnya meredup dari perhatianku. Aku merunduk, tapi benakku penuh dengan… dengan sensasi. Sensasi yang… seolah-olah “tips menulis” Ari S. Sofyan itu membuka sebuah tabir yang menghalangi aku dari cahaya matahari. Aku ingin nasihatnya, dan aku mendapatkannya.

Berdoa….

Kenapa itu tidak terpikir olehku? Kenapa aku tidak berdoa saja kepada Dia yang menciptakan aku, yang mengkondisikan aku menjadi seperti ini supaya aku bisa… bisa melampaui… keterbatasanku?

Aku gigit bibir bawahku, lalu kembali memperhatikan Ari S. Sofyan, tapi dia sudah tidak ada kecuali MC yang tengah menutup acara. Aku tidak bisa apa-apa selain pulang.

Tapi aku tidak ingin segera pulang. Aku merasa gamang. Aku merasa ada sesuatu yang belum lengkap…, sesuatu yang belum conclude. Aku merasa mungkin… mungkin perasaan itu akan hilang kalau aku berhasil minta tanda tangannya, tapi sepertinya kesempatan itu telah hilang… setidaknya untuk hari ini…. Dan hari pun semakin sore.

Di luar hujan masih turun, tapi tidak sederas sebelumnya. Aku berdiri agak dekat dengan pinggir jalan, tapi terlindung dari hujan oleh lantai dua gedung pameran. Mungkin aku terlihat seperti orang yang tengah menunggu hujan reda, dan memang ada benarnya juga, tapi saat itu sebenarnya benakku tengah mereka-reka doa….

Ya Allah, Dzat Yang menurunkan hujan ini, curahkan kepadaku cahaya-Mu…, aku mohon…. Jangan biarkan aku terombang-ambing dalam keraguan…. Aku percaya Engkau ciptakan aku dengan kondisi yang menurut-Mu terbaik untuk diriku…, karenanya aku mohon…, mudahkan aku dalam… segala urusanku…, karena sungguh tiada yang mudah kecuali Engkau mudahkan…, dan tiada yang sulit menjadi mudah, kecuali Engkau mudahkan….

Diantara beberapa doa yang aku susun, mungkin itulah yang paling menyentuh batinku, dan tidak hanya itu, efek selanjutnya benar-benar mengejutkan.

Aku ingat saat batinku merapal doa itu, aku tengah menatap hujan. Terus terang saat itu perasaanku sedikit gamang, mungkin bisa dibilang setengah melamun, tapi aku bisa merasakan ketulusan dari doaku itu. Lalu tiba-tiba aku rasakan kehadiran seseorang di samping kananku. Aku meliriknya dan seketika nafasku serasa tercekat.

“Ari Sulaiman Sofyan,” gumamku tanpa sepenuhnya aku sadari.

“Ya?” Tanpa aku sangka dia merespon gumamanku itu.

Gelagapan aku berusaha merespon, “Maaf, ehm, bisakah ehmm Anda menandatangani novel saya—maksud saya, novel Anda… yang-yang saya beli—maksud saya….”

Dia tersenyum. “Ya, tentu. Tapi…, sepertinya suara kamu kedengaran familiar, deh. Nama kamu siapa, ya?”

Aku sebut namaku seraya menyerahkan novelku.

Lalu tiba-tiba aku lihat sebuah mobil berhenti di depan kami. Dari sisi kabin pengemudi aku melihat sosok berpayung keluar dan berjalan cepat menghampiri kami.

“Sori. Sori. Aku telat. Aku telat,” ucap sosok itu seraya menutup payung. Lalu aku lihat sosok yang aku kenali.

Pra-pramusaji itu!

Kulihat dia sempat terkejut melihatku, tapi kemudian tersenyum lebar.

“Oh, Nid, ini perkenalkan,” ucap Ari S. Sofyan. “Erinna.”

“Ya, kami sudah saling kenal,” jawab pramusaji itu. “Tapi kami belum sempat bertukar nama, ya?” Dia menjulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Annida, kakaknya dia.”

Dengan perasaan yang nggak menentu aku menyambut tangannya.

“Sori, aku nggak sepenuhnya berterus terang. Maklumlah dia adik satu-satunya. Aku jadi agak overprotective.”

“Apa sih yang kamu bicarakan?” tanya Ari S. Sofyan.

“Bukan apa-apa. Ayo Erin, kita pulang sama-sama.”

“Oh-eh, sebaiknya saya naik bis saja,” tanggapku.

“Oh, jangan konyol! Kita tinggal satu kompleks!” seru dia seraya menarik tanganku, membuka payung, menggandeng adiknya lalu menyeret kami ke mobilnya.


Rabu, 26 Desember 2012

Wawacan

  Wawacan hartina jenis karya sastra (boh fiksi atawa non-fiksi) Sunda nu wangunna nuturkeun pola pupuh. Seni macakeun wawacan sok disebut beluk. Kecap wawacan téh asalna tina kecap 'waca' anu hartina 'maca', ku kituna bisa disebutkeun yén ayana wawacan di tatar sunda téh sabada masarakatna geus barisaeun maca, umumna di kalangan pasantrén jeung para ménak.[1] Wawacan téh nya éta mangrupa carita anu didangdingkeun jeung digelarkeunana dina puisi pupuh.[1] Ditilik tina wangunna, carita wawacan téh mangrupa carita anu kauger ku guru lagu, guru wilangan, sering gunta-ganti pupuh, jeung umumna paranjang.[1] Ari maca wawacan biasana sok ditembangkeun, disebutna beluk. ayana éta beluk biasana dipidangkeun lamun aya salametan, kariaan, atawa aya anu ngalahirkeun, jeung réa-réa deui. Tadi geus disebutkeun yén maca wawacan téh sering gunta-ganti pupuh.[1] Ari pupuh anu sok ditembangkeun taya lian kinanti, asmarandana, sinom, jeung dangdanggula, sedengkeun pupuh nu séjén mah teu pati sering dipaké.[1] Aya hiji wawacan anu numutkeun panalungtikan Dr. Mikihiro Moriyama, peneliti Kabudayaan Sunda ti Jepang, jadi tonggak ngembangna modernitas di golongan urang sunda. Wawacan kasebut nyaéta Wawacan Panji Wulung anu ditulis ku R.H. Moehamad Moesa, Penghulu Kabupatén Garut dina jaman kolonial. Dina bukuna Sumanget Anyar: Kolonialisme, Budaya Citak, sarta Sastra Sunda Abad ka-19 (2005), Moriyama nétélakeun: "Wawacan Panji Wulung nyaritakeun usaha panyatur dina ngembangkeun dunia modern saluyu jeung tuwuhna jaman ku cara ngawanohkeun konsép anyar ka nu mmaca, éta sababna wawacan ieu ditapsirkeun minangka gambaran tumuwuhna moderenisasi dina nulis basa Sunda".[1]

sajarah

Ditilik tina sajarahna, gelarna wawacan téh sabada sastra sunda kapangaruhan ku sastra jawa, pangpangna Mataram. Dina abad ka-17 M, asupna wawacan ka tatar sunda téh babarengan jeung asupna basa Jawa ka wilayah Jawa Barat, ku pangaruhna kakawasaan Mataram. Saterusna basa Jawa téh mangrupa basa resmi nu digunakeun ku pamaréntahan mangsa harita, nepikeun ka pertengahan abad ka-19. Sanggeus kitu tulisan basa sunda téh digunakeun deui di Jawa Barat.

Papasingan Wawacan

Eusi wawacan rupa-rupa, aya nu nyaritakeun carita Nabi ( Wawacan Nabi Paras, Wawacan Mi'raj Kangjeng Nabi Muhammad SAW, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Layang Syékh jsb ), babad 
( Babad Cirebon, Babad Banten, Babad Timbanganten, Babad Dogdog, jsb ) , nepikeun wawacan anu eusina ngeunaan tatanén jeung ubar aya sabab leuwih bisa dibaca ku masarakat ti batan ditulis dina wangun prosa lancaran.[2] Tapi lolobana wawacan mangrupa wangun fiksi boh éta dina basa Sunda boh wawacan nu ti basa Jawa saperti : Wawacan Rengganis, Wawacan Damarwulan, Wawacan Angling Darma, Wawacan Dewa Ruci, jsb.[2]

Senin, 17 Desember 2012

Catatan Hati Bunda

Catatan Hati Bunda



Terima kasih telah berkenan membuka lembaran buku ini. Sebuah risalah dari keluarga sederhana. Isinya merupakan rekaman hari-hari yang saya jalani sebagai Ibu dari dua anak. Ada juga beberapa catatan dari Ayah. Kebahagiaan, kesedihan, kecemasan, kegamangan, ‘kepanikan’ bahkan kekurangan kami sebagai orang tua, khususnya saya sebagai bunda terabadikan di sini.

Sebagai pasangan muda, bisa dibilang kami memulai segalanya dengan sangat sederhana. Apa yang dialami kebanyakan pasangan di tanah air, lebih kurang mungkin kami rasakan juga. Baik saya dan suami berasal dari keluarga sederhana. Ketika menikah, Bang Isa masih belum selesai kuliah, dan bekerja paruh waktu di sebuah lembaga kebudayaan asing.

Dalam upaya mandiri, kami sempat tinggal di sebuah rumah sederhana milik keluarga, sebelum kemudian mengontrak dari rumah mungil yang satu ke rumah mungil lain.

Kami mengalami kepanikan saat anak pertama hadir, sementara biaya rumah sakit yang diperkirakan tertutupi ternyata masih jauh dari cukup.

Kami melalui juga ‘bisnis’ simpan pinjaman (bukan simpan pinjam J) bertahun-tahun. Saya masih mengingat hari-hari menunggu juru taksir perhiasan di pegadaian mengira-ira berapa uang yang bisa dipinjamkannya kepada saya berdasarkan cincin atau gelang anak (maaf ya, Ca), yang kami gadaikan.

Tetapi dalam keadaan begitu, seingat saya … kami santai-santai saja. Masih bisa bercanda, seperti jika saya baru pulang dari pegadaian,

“Dari mana, Bunda?”

“Biasa, Ayah … dari ‘sekolahan’.”

Kalimat yang disambut senyum Bang Isa,

“Kasihan Bunda, dari sekolahan bertahun-tahun, masih belum lulus juga.”

Saya tidak melupakan hari-hari itu, tetapi keresahan karena beban ekonomi luntur karena kebersamaan dengan anak-anak.

Kehadiran Caca dan Adam, sungguh karunia luar biasa. Hari-hari membesarkan anak-anak merupakan ‘sekolah’ bagi saya, sekaligus hiburan. Dan sejauh ini apa yang saya harapkan ada pada anak-anak, alhamdulillah Allah berikan. Karenanya hal-hal lain yang tidak sempurna, kami jalani dengan lebih ringan.

Caca dan Adam yang sering sakit ketika kecil, bahkan hanya karena hal-hal sepele. Jangankan permen atau cokelat, makan rambutan satu biji, bisa membuat kami harus membawa mereka bolak balik ke dokter. Berenang sekalipun hanya sebentar bisa berujung sakit serius.

Tetapi kondisi itu memberi semangat bagi saya untuk berusaha menjaga anak-anak sebaik mungkin. Kadang-kadang agak paranoid, saking kekhawatiran saya yang besar jika terjadi apa-apa terhadap mereka.

Karena anak-anak mudah sakit, saya rajin menggantikan baju mereka, agar tidak berlama-lama dengan baju yang basah keringat.

Karena mereka sering sakit, saya menjaga betul agar mereka tidak terbiasa makan snack yang tidak sehat, atau minum-minuman bersoda.

Karena mereka sering sakit, kami rajin memvakum mainan, kasur, dan ruangan agar tidak berdebu.

Kondisi itu memaksa saya pada situasi tertentu harus bersikap tegas terhadap anak-anak, sekalipun sebagai ibu saya jauh dari tipe ibunda yang anggun dan penuh kelembutan atau yang biasanya terlihat pantas dihormati J. Sebab saya lebih suka memposisikan diri sebagai teman yang menyenangkan ketika diajak bermain. Yang mungkin saja melakukan kesalahan dan karenanya tidak perlu malu meminta maaf.

Tetapi saya belajar, bahwa ketegasan itu tidak perlu ditegakkan dengan kemarahan, dengan main tangan, atau dengan suara galak. Ketegasan adalah perpaduan dari penerapan reward dan bukan hanya ‘punishment’, serta sikap konsisten terhadap segala sesuatu.

Saya kira anak-anak juga belajar dari cara orang tua memperlakukan mereka. Wajah-wajah mungil itu diam-diam mengamati, melakukan analisa, kemudian membuat coret-coret di benak mereka, bagaimana mereka harus bersikap kemudian, khususnya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan J.

Saya mencintai anak-anak. Mereka telah memberikan banyak kebahagiaan, dan melepaskan saya dari hati yang pengap, ketika ujian-ujian lain dalam hidup menghampiri. Dan betapa lengkap rasanya bahagia itu, ketika mendapati ekspresi-ekpresi cinta dari keduanya.

Dengan semua kebahagiaan itu, rasanya saya tidak pantas mengeluh karena hal-hal lain. Juga untuk kondisi ekonomi yang bertahun-tahun cukup minim.

Melewati antrian panjang di ATM dan menemukan saldo rekening yang bahkan tidak mencapai sebelas ribu.

Tivi hitam putih yang harus digebrak berkali-kali agar menyala.

Bolak-balik ke ‘sekolahan’ sebelum kemudian harus kehilangan perhiasan yang saya miliki ketika gadis, karena tidak mampu menebus cicilan.

Hari-hari panjang menemani Caca ataupun Adam ketika mereka berobat jalan, bahkan menginap di rumah sakit.

Saya tidak bisa mengeluh, karena saya tahu masih banyak ibu yang melalui situasi yang jauh lebih buruk dari yang saya alami.

Biarpun kecil dan penuh serangga yang membuat kulit bercak-bercak merah, saking tuanya kontrakan kami, setidaknya saya dan anak-anak masih punya tempat berteduh.

Biarpun hanya makan sederhana, nasi dan sayur, jatah telur atau ayam hanya untuk anak-anak, tetapi alhamdulillah kami masih bisa makan tiga kali sehari.

Biarpun melalui masa mengepit map dan masuk satu kantor ke kantor lain, bersama suami dalam usaha mencari pekerjaan, hingga kerongkongan yang kering harus bersabar, sebab di genggaman saya hanya tersisa sedikit uang, cukup untuk membayar ongkos bis pulang.

Tetapi Allah berikan saya begitu banyak nikmat-Nya.

Ayah bagi anak-anak saya, yang ulet bekerja untuk memberikan yang terbaik bagi istri dan anak-anaknya.

Dua permata hati yang berlomba-lomba memberi kebanggaan pada orang tua mereka. Yang rajin membuat lukisan dan coretan penuh kata-kata cinta untuk bundanya.

Soal bolak-balik ke rumah sakit, setidaknya kondisi kami lebih baik ketika itu dibandingkan Mami yang hampir setiap hari membawa saya berobat ke RSCM sejak saya berumur tujuh tahun sampai usia saya menginjak tujuh belas tahun, dalam kondisi ekonomi yang lebih payah.

Allah, saya tahu saya tak pantas mengeluh.

Pun tidak ketika beberapa ujian-Mu menghampiri.

Saya tahu bersama kesulitan ada kemudahan. Sehingga ketika satu ujian terasa mencekik leher saya, saya hanya harus bersabar dan berdoa … sambil mencoba melihat kemudahan yang sebetulnya menyertai. Dan ketika saya tidak bisa melihat, saya akan mencoba membuka mata lebih lebar, tetap dengan keyakinan … kemudahan itu ada dan Allah iringkan ketika memberi kita ujian-Nya, kalau belum terlihat, mungkin mata kita yang masih tertutup.

Tiga belas tahun usia keluarga kecil kami.

Masih muda dan masih harus banyak belajar, tentang cinta dan menghargai anugerah. Tentang hidup yang begitu layak disambut dengan syukur dan suka cita. Tentang upaya membahagiakan.

Semoga Catatan Hati sederhana ini, bisa menjadi kado kecil yang bermanfaat bagi pembacanya. Allahumma, amin .…

Rumah Tanpa Jendela

Rumah Tanpa Jendela (Novel & Skenario)

 
Rara bocah perempuan penghuni perkampungan kumuh. Ia punya mimpi sederhana: memiliki jendela untuk rumah tripleksnya, agar dari dalam rumah ia bisa menatap keindahan bulan dan senyuman matahari.

Mimpi bukan cuma milik Rara. Dua pemuda mengimpikan sosok perempuan yang sama. Seorang gadis bermimpi untuk kemudian menyerah dan terlupakan. Seorang bocah laki-laki bermimpi mendapat kehangatan keluarga, juga uluran persahabatan yang tulus.

Tapi tak semua mimpi bertakdir jadi kenyataan. Berbagai peristiwa tragis tak hanya menjauhkan Rara dari mimpinya, juga dari kasih orang-orang tercinta. Bagaimana ia dapat melanjutkan hidup, ketika satu persatu kebahagiaan dan sumber impian kembali ke pangkuanNya?

Sebuah cerita sederhana karya Asma Nadia tentang cinta dan persahabatan yang menggetarkan. Disajikan dalam bentuk novel dan diskenariokan dengan apik oleh Aditya Gumay dan Adenin Adlan. Juga telah diangkat ke layar lebar sebagai film berjudul sama.

Senin, 10 Desember 2012

Cerita Pendek



Manisnya  Kemenangan, Pahitnya Kegagalan
           
            “Aduh, bagaimana ya naskah lombanya, kok jadi hilang begini”, aku menggerutu dalam hati. Andi dan Rendi teman satu kelompokku juga merasa kesal karena hilangnya naskah lomba kami ini untuk  yang ketiga kalinya. “Terus apa yang harus kita lakukan sekarang”, kataku pada Andi dan Rendi, padahal waktu lombanya tinggal satu hari lagi...
            Beberapa hari yang lalu, ketika kami sedang belajar pelajaran Bahasa Indonesia, guru kami mengabarkan bahwa akan ada lomba menulis cerpen pelajar tingkat Nasional.  Guru kami menunjuk tiga orang murid untuk mengikutinya. Peserta lomba yang terpilih adalah saya, Rendi, dan Andi.. Guru kami selalu berpesan pada kami bahwa kami jangan berkecil hati dan mempunyai nyali yang kecil dalam menghadapi setiap perlombaan, walaupun kami hanya siswa-siswi yang berasal dari kota kecil. “Anak-anak, kalian harus berani untuk berusaha dan berjuang, kalah dan menang itu bukan masalah”, begitu yang  selalu terngiang di telinga kami. 
        Kami mengetahui dari anak-anak bahwa ada anak   yang iri pada kami. Dia adalah Wahyu dan teman-temannya, teman sekelas kami juga. Dia iri karena merasa lebih layak untuk mengikuti lomba dibandingkan kami.
Kami mulai menyusun naskah cerpen yang sudah ditentukan dan menyimpannya di dalam  komputer sekolah. Ternyata Wahyu mengetahui bahwa kami menyimpan naskah cerpen tersebut di komputer sekolah. Wahyu, 
Rian dan Ricky, dua orang anggota kelompok gengnya Wahyu mencoba untuk  menggagalkan kami.
“Teman-teman, bagaimana  cara kita untuk menggagalkan lomba yang diikuti Rizal dan kawan-kawannya?”, tanya Wahyu.  “Apakah kamu punya informasi tentang kelompok mereka?”, tanya Ricky.  “ Oh ya, tadi aku melihat meraka menyusun naskahnya di dalam komputer sekolah kita”,  lanjut Wahyu.  “Oh kalau begitu aku punya ide”, kata Rian. “Bagaimana caranya?”, tanya Ricky kembali. “Begini, kita coba menghapus data dari komputer yang mereka gunakan untuk  merancang naskah cerpen tersebut .”  jawab Rian.  “ Kamu memang jenius, rencana yang sangat jitu, wah… aku setuju sekali dengan rencanamu”, kata Wahyu. ”Kita lihat bagaimana reaksi mereka kalau mengetahui bahwa naskah yang telah mereka garap kini sudah lenyap tak berbekas bagai di telan bumi, ha…ha….ha”. “Membayangkannya saja aku sudah puas, apalagi kalau melihat langsung muka mereka”, sergah Wahyu sambil terus tertawa terbahak-bahak. Sementara dua temannya  ikut tertawa, seolah turut bersuka cita dengan apa yang akan terjadi.
Pada malam harinya Wahyu dan kawan - kawan mulai menjalankan rencananya. Mereka bisa masuk ke sekolah pada malam hari dengan cara memberi uang kepada penjaga sekolah dan meminta tolong untuk membuka pintu laboratorium komputer. Setelah mereka berhasil masuk ke dalam lab komputer mereka mulai menjalankan rencananya, dan rencana tersebut adalah menghapus data naskah cerpen tersebut.
Keesokan harinya Wahyu melihat  kelompok Rizal meneruskan naskah cerpen tersebut. Setelah Wahyu mencari informasi ternyata kelompok Rizal menyimpan datanya di Flash Disc., artinya mereka masih mempunyai naskah untuk lomba cerpen. Setelah mendengar informasi tersebut, Wahyu sangat kesal dan marah, lalu  mencoba mencari cara penggagalan yang kedua.
“Huh…., aku sangat  kesal.” ucap Wahyu.  “Kesal kenapa Yu?”, tanya Rian.  “Ternyata Rizal dan kawan-kawannya menyimpan datanya  di dalam  Flash Disk.” Sahut Wahyu. “Aha…. jangan khawatir teman-teman, kita tidak akan menyerah begitu saja sebelum melihat kegagalan mereka”. “Aku punya ide sekarang, caranya kita tukar saja  Flash Disk mereka dengan Flash Disk yang lain.” Saran Ricky.  “Wah ide gila yang sangat berlian, itu rencana yang sungguh bagus, mudah-mudahan rencana tersebut bisa berhasil.”, harap Wahyu.  “ Kapan kita bisa mulai menjalankan rencana itu?”, tanya Rian. “Kita mulai pada saat istirahat karena pada saat istirahat keadaan kelas  sepi dan kita harus mencari Flash Disk tersebut di dalam tas milik Rizal, Rendi, atau Andi.” jawab Ricky.
Waktu istirahat pun telah tiba mereka mulai menggeledah satu persatu tas kelompok tersebut dengan mengendap-ngendap masuk ke dalam kelas ketika semua murid beristirahat di luar.  Akhirnya  Flash Disk tersebut ditemukan di dalam tas milik Andi,  Wahyu langsung menukarnya dengan Flash Disk yang kosong.  Ketika pulang sekolah, rencananya kelompok tersebut  akan melanjutkan rancangan cerpen tersebut.  “Andi mana Flash Disk-nya?”, ada, sebentar aku ambil dulu di dalam tas”, jawab Andi. Pada saat Flash Disk  sudah diambil mereka langsung masuk ke dalam lab komputer. Ketika Flash Disk tersebut dimasukan kedalam CPU ternyata datanya hilang. “Kenapa data dalam Flash Disk ini kosong?”, tanya Rizal. “Oh iya, tadi aku melihat seseorang menggeledah tasmu Andi.”, kata Rendi.  “Tidak salah lagi, pasti itu perbuatan  Wahyu dan kawan-kawan”, kata Andi. “Kalau begitu kita laporkan saja ke guru bahasa Indonesia.” Setelah itu merekapun langsung melaporkannya.
Lalu guru kami menegur Wahyu dan kawan-kawannya  dan menasehatinya  supaya  tidak melakukan perbuatan   itu kembali. Namun Wahyu belum juga jera. Dia menemukan rencana lain yaitu dengan memasukan Virus ke dalam Flash Disk tersebut dengan cara menunggu saat kami lengah dalam mengerjakan tugas. Keesokan harinya ketika kami mulai mengerjakan tugas seperti biasa. terasa perut kami lapar minta didiisi  “Di, Zal kita jajan dulu yuk?”. tawar Rendi. ”Ya sudah, mari kita isi perut keroncongan kita, kasihan dari tadi kukuruyuk terus”, ajak  Rizal seraya  bercanda.
Pada saat kami jajan, Wahyu dan kawan-kawan menyelinap masuk ke dalam lab komputer dan menyebarkan virus kedalam Flash Disk kelompok kami.sehingga virus itu cepat menyebar kedalam data kami. Saat kami kembali, data tersebut  ternyata telah rusak dan hilang. Di saat itulah kami mulai panik dan tidak tahu apa yang harus  kami lakukan. Lalu kami kembali melaporkan kejadian tersebut kepada guru kami .
“Bu, bagaimana  ini?, naskah yang telah lama kami buat hilang lagi karena Virus yang disebarkan seseorang “. tanya  Rendi dengan cemas. ”Iya bu, bagaimana ini? padahal naskah itu hampir selesai.” lanjut Andi. Tetapi guru itu hanya tersenyum kepada kami. Kamipun heran mengapa guru kami malah tersenyum seakan tidak ada beban dipikirannya. “Mengapa ibu malah tersenyum?”.tanya Andi . Setelah ditanya seperti itu, guru kami menjawab dengan santai. “Kalian jangan takut karena ibu telah mengcopy ulang data kalian “. Alhamdulillah, kami mengucap syukur nyaris bersamaan, bahkan Rizal yang terkenal usilpun  langsung mengucapkan kata yes sambil mengepalkan tinjunya melayang ke atas.  Kami merasa lega .dan waktu pengiriman naskahpun telah tiba, kami  tetap punya semangat dan  harapan yang optimis untuk memenangkannya. Ketika  pengumuman  telah tiba, ternyata tak disangka kami masuk daftar nominasi peserta yang memenangkan lomba . Kamipun merasa  sangat senang, karena perjuangan kami selama ini tidak sia-sia dan telah membuahkan hasil, walau banyak sekali rintangan yang menghadang perjalanan kami.
Wahyu dan kawan-kawan  datang menghampiri kami dan meminta maaf kepada kami serta menyesali perbuatan mereka selama ini. Lalu mereka berjanji tidak akan mengganggu kami lagi  dan  sejak saat itu kami menjadi teman  yang baik.
 “ Selamat ya, ingat…, jangan pernah patah semangat dan jangan pernah mau menyerah dengan keadaan sepahit apapun  anak-anak”, kata bu guru  sambil menyalami kami. “Manisnya kemenangan ini”, kata Rizal . “Pahitnya kegagalan kejahatan yang telah aku lakukan”, kata Wahyu sambil tertunduk malu.

                                                                    Sukabumi, 13 Januari 2010
                                                                    Lomba Cerpen Tingkat nasional       

                                                                
                                                                      Siswa SMPN 8 Kota Sukabumi

Biografi Kepenulisan Blogger

Komunitas Guru Menulis Komunitas bagi para guru/dosen yang se...